Bahkan, kapurung dijual di pusat perbelanjaan sebagai bagian makanan khas Luwu. Fenomena ini menunjukkan bahwa kapurung merupakan makanan regional yang menjadi makanan nasional.
Kapurung juga sering disebut pugalu atau bugalu. Kapurung mengalami evolusi dari makanan kampung menjadi makanan kota.
Kapurung terbuat dari tepung sagu yang berbentuk bulan-bulatan kecil dimasukkan ke dalam kuah yang telah dibumbui dengan rempah dan sayur-sayuran.
Lauk sebagai hidangan pendamping dapat menggunakan beragam pilihan, misalnya daun singkong atau rebung, terong bakar, ikan, atau daging.
Kuah kapurung dapat menggunakan kuah ikan masak kuning atau kuah yang diracik khusus. Kapurung disantap dengan lauk pauk dan sayuran.
Kapurung adalah kebiasaan masyarakat Desa Takkalala yang masuk dalam kategori anre pong. Anre pong adalah makanan berat.
Karena itu kapurung kerap disantap pada siang hari sebagai konsumsi makan siang, sebagai pengganti energi setelah bekerja berat.
Selain itu, kebiasaan makan kapurung pada siang hari merupakan warisan dari orang tua yang lebih terasa pas ketimbang dimakan di malam hari.
Konsumsi kapurung pada malam hari biasa hanya dilakukan pada bulan puasa, selepas buka puasa. Namun makanan ini tidak digunakan sebagai menu sahur.
Masyarakat Takkalala umumnya juga tidak mengkonsumsi kapurung pada pagi hari atau sebagai sarapan.
Orang Lawu pantang makan kapurung yang sudah dingin dan keras. Mereka sangat mengutakan kesegaran makanan. Karena itu setiap makanan disajikan harus segera disantap.
Baca Juga: Mengenal Wingko Babat, Jajanan Populer di Semarang yang Bisa Dijadikan Oleh-oleh Lebaran
Source | : | Kompas |
Penulis | : | Amelia Pertamasari |
Editor | : | Raka |
KOMENTAR