SajianSedap.com - Banyak orang tua tak sadar kadang kita sering marah dan bertengkar di depan anak.
Tahu sih kalau kita tidak boleh melakukan hal tersebut, tapi kadang kelepasan ya?
Ada juga orang tua yang bilang "zaman dulu saya juga sering melihat orang tua bertengkar, tapi saya tumbuh baik-baik saja".
Namun faktanya, pertengkaran orang tua tanpa sadar sedikit banyak memengaruhi mental anak, lo.
Pertengkaran orang tua di zaman dulu mungkin juga jadi penyebab Mama Papa kini jadi mudah bertengkar dan cekcok mulut.
Bisa saja, lo!
Makanya, penting banget untuk tahu efeknya pada anak kalau sering lihat orang tua bertengkar.
Ini yang terjadi pada mental anak.
Efek Anak yang Sering Lihat Orang Tua Bertengkar
Membesarkan anak tentu membutuhkan kasih sayang dari kedua orangtua.
Namun, apa yang terjadi jika Si Kecil melihat orangtuanya sedang bertengkar di hadapannya langsung?
Kondisi ini akan memengaruhi kesehatan mental dengan orang-orang dan lingkungan sekitarnya.
Baca Juga: 5 Bahan Mainan yang Ternyata BAHAYA Buat Anak, Waspada Kalau Tidak Mau Si Kecil Kenapa-kenapa
Vihan Sanyal, psikoterapis dan kontributor Indian Express, memberikan penjelasannya dengan menunjukkan tanda-tanda berikut:
1. Masalah Sosial & Perilaku
Si Kecil tanpa sadar cenderung berperilaku dengan cara yang mirip dengan orangtua mereka.
Sikap mereka terhadap kehidupan dapat sangat dipengaruhi oleh perselisihan yang terjadi di lingkungan rumahnya.
Ini sering membentuk bagian dari kepribadian anak dan dapat menghambat semua interaksi sosial saat ini dan di masa depan nanti.
Anak-anak yang tumbuh di lingkungan kasar sering mengembangkan masalah perilaku.
Mereka cenderung menjadi pembohong kompulsif, mencuri barang, merusak properti (termasuk mainan mereka) dan menggunakan bahasa kasar.
Mereka mungkin berperilaku sembrono (mendapat masalah karena perilaku mereka di sekolah dan/atau dengan hukum).
Mereka juga bisa menjadi keras dan menjengkelkan atau pendiam dan menarik diri.
2. Masalah Mental & Emosional
Penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak yang berasal dari rumah disfungsional berada pada risiko lebih tinggi terkena gangguan mental seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), kecemasan, depresi, Obsesif-Compulsive Disorder (OCD).
Karena pikiran anak-anak tidak memiliki mekanisme penanggulangan yang efektif untuk mengatasi perkelahian di rumah, mereka cenderung lebih rentan terhadap pengembangan gangguan mental.
3. Masalah Hubungan
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak bersahabat cenderung mengalami kesulitan dalam membentuk dan mempertahankan hubungan.
Mereka cenderung menghadapi masalah di hampir setiap hubungan lain, baik itu dengan teman-temannya, hubungan romantis, di tempat kerja, dan dengan orang asing yang ingin mereka ajak interaksi.
4. Gangguan Makan
Tidak jarang ditemukan gangguan makan pada anak-anak yang menjadi saksi kekerasan di rumah.
Baik anak-anak yang menjadi gemuk atau mengurangi asupan makanan dan menjadi anoreksia.
Gangguan makan dapat mengakibatkan komplikasi fisiologis permanen dalam pertumbuhan dan kesehatan masa depannya.
5. Penggunaan & Penyalahgunaan Zat
Anak-anak yang melihat orangtuanya sering bertengkar berisiko lebih tinggi menggunakan dan menyalahgunakan substansi.
Mereka dapat kecanduan zat seperti alkohol, tembakau, ganja dan bentuk-bentuk obat lain.
6. Prestasi akademik
Pikiran seorang anak biasanya disibukkan dengan lingkungan rumah yang tegang.
Ini membuat mereka sulit berkonsentrasi pada pelajaran akademis di sekolah.
Sebagian besar anak-anak punya nilai akademis di bawah rata-rata.
Stres emosional dapat berdampak buruk pada mereka dan cenderung sering sakit secara fisik.
Sistem kekebalan tubuh kita dikompromikan selama peristiwa-peristiwa yang menimbulkan stres dan dapat mengakibatkan Si Kecil terjangkit berbagai alergi, virus dan infeksi bakteri.
Jangan Labeli Anak dengan Sebutan 'Pemarah'
Tak jarang anak akan marah, jengkel atau bahkan ngamuk, namun sebaiknya jangan beri label anak pemarah ya.
Pemberian label kepada seseorang cenderung membuat orang lain melihat kepribadian si penyandang label sesuai dengan label yang diterimanya.
Anak yang sering dibilang pemarah secara terus-menerus, mau tak mau akan memosisikan dirinya sebagai anak pemarah pula.
Daripada melabel 'pemarah', lebih baik lakukan hal berikut saat Si Kecil marah.
1. Memisahkan emosi dan tindakan
Dilansir oleh Kompas.com dari laman Sahabat Keluarga Kemendikbud, salah satu yang lebih baik dilakukan saat Si kecil marah yaitu memisahkan emosi dengan tindakan.
Misalnya, ketika anak ingin memukul sesuatu, Anda biasanya akan mengatakan 'jangan memukul!'.
Sebaiknya, jangan katakan hal itu namun beritahu apa yang dilakukannya itu adalah salah.
'Ibu tahu adik marah, tapi ibu nggak akan membiarkan adik memukul orang karena itu menyakiti orang lain dan merupakan tindakan yang salah'.
2. Ajak untuk menyelesaikan persoalan
Daripada melabel anak pemarah ketika Si Kecil sedang marah, sebaiknya ajak untuk menyelesaikan permasalahan itu.
Misalnya, lebih baik katakan 'Masalah ini susah ya? Yuk kita cari solusinya bersama'.
Dengan mengatakan kalimat di atas, Anda menunjukkan niatan untuk membantu menyelesaikan dan mendengarkan persoalan anak.
3. Menghargai perasaan anak
Ketika anak sedang marah, sebaiknya Anda jangan mengatakan hal yang bisa membuat anak menjadi malu seperti mengatakan 'kamu nakal' atau 'kakak nih bikin malu'.
Lebih baik, ajak Si Kecil ke tempat yang lebih sepi kemudian ajak anak untuk menyelesaikan permasalahannya.
4. Beri senyuman
Ketika anak marah sering kali menyulut emosi orangtua, namun sebaiknya berilah senyuman tulus dan ingatlah kebaikan dan kelucuan anak.
5. Peluk dan tenangkan
Saat marah, hal yang bisa membuat Si Kecil tenang yaitu pelukan.
Lebih baik orangtua memeluk anak dan biarkan dia menangis, ucapkan di dekat telinganya dengan berbisik, ”Bunda di sini. Kakak tenang ya.”
Ketika sedang sangat marah atau panik, tubuh anak-anak sering tak mampu menahan stres dan merasa benar-benar tak aman.
Menemani dan membuat mereka tenang dan aman akan mengasah keterampilannya mengelola emosi.