"Justru tingkat migrasi BPA pada air akan lebih tinggi pada waktu masih baru." "Orang-orang beranggapan makin sering dipakai makin banyak pula BPA-nya karena mengira ada kerusakan atau degradasi dari bahan tersebut."
"Hasil riset menunjukkan kalau itu tidak menghasilkan BPA. Tapi justru lebih sedikit kadarnya," Demikian kata Zainal saat ditemui Kompas.com usai acara Polemik Spesial MNC Trijaya FM bertajuk 'Urgensi Pelabelan BPA Galon Guna Ulang' di Hotel Mercure Cikini, Jakarta, baru-baru ini.
Ia juga menambahkan bahwa hingga saat ini belum ada laporan kasus terkait orang yang sakit atau meninggal akibat air galon.
Tingkat kontaminasi pada zat berbahaya yang ada di kemasan makanan justru lebih mungkin terjadi pada makanan kaleng daripada non-kaleng.
Menurut Zainal, kemasan kaleng yang sudah rusak atau penyok merupakan suatu pertanda bahwa panganan tersebut sebaiknya tidak dikonsumsi.
Hal itu disebabkan karena sudah terjadi pecahnya lapisan epoksi yang melapisi logam pada kaleng kemasan dapat memungkinkan terjadinya migrasi BPA ke produk makanan tersebut.
"Jika itu kejadian, kemungkinan makanan atau minuman yang ada pada kemasan itu beracun," lanjut Zainal.
Dia menegaskan bahwa migrasi BPA yang disebabkan kaleng tergores atau penyok itu justru lebih besar daripada galon air yang menggunakan bahan polikarbonat.
"Kalau kaleng kemasan, itu bagian dalamnya epoksi. Jadi ketika penyok, epoksinya akan sobek dan menyebabkan terjadinya migrasi BPA ke makanannya," ujar Zainal.
Terkait seberapa besar pelepasan BPA-nya juga tidak diketahui, sebab di Indonesia belum ada studi untuk mengkomparasi langsung dan perlu dikaji lebih rinci.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Raka |
Editor | : | Raka |
KOMENTAR