“Itulah kenapa ‘otak atik gathuk’ selalu mendapat tempat tertinggi di masyarakat,” sambung dia.
Ketupat, kata Wira, pada awalnya bernama kupat yang merupakan singkatan dari laku papat yaitu cipta (pikiran), rasa, karsa (sikap), dan karya (perbuatan) atau segala tindakan yang berhubungan dengan kehidupan diri sebagai manusia.
Sementara opor, berasal dari ajaran konsep kehidupan yaitu ‘apura-ingapura’ atau ‘ngapuro’ yang berarti maaf memaafkan.
“Sedangkan Lebaran diambil dari kata leburan, yaitu peleburan dosa-dosa kita. Itulah kenapa ketupat dan opor selalu disandingkan pada saat hari raya,” papar Chef Wira.
Ketupat dan opor konon telah dipasangkan bahkan pada masa pra-Islam.
Ketupat dan opor dipasangkan karena maknanya meminta maaf atas segala kesalahan baik tindakan juga pikiran buruk atas sesuatu atau seseorang.
Menurut Chef Wira, opor sendiri merupakan bentuk asimilasi budaya orang-orang Nusantara. Opor konon diadopsi dari Kerajaan Mughal di India.
Sajian tersebut bernama ‘qorma’ yang diambil dari bahasa Urdu yaitu teknik memasak daging dengan menggunakan yoghurt dan/atau susu.
Sementara di Nusantara, sajian qorma ini diasimilasi menjadi menggunakan santan.
Sajian ini mulai masuk ke Nusantara, menurut Chef Wira, sekitar abad ke-15 dan bisa ditemukan di daerah pesisir.
“Karena catatan abad ke-16 telah ramai saudagar-saudagar India yang berdagang di pesisir pantai,” pungkasnya.
Baca Juga: Asal-usul Bubur India, Sajian Khas Buka Puasa di Masjid Pekojan Semarang Selama Ratusan tahun
Source | : | Kompas |
Penulis | : | Amelia Pertamasari |
Editor | : | Raka |
KOMENTAR