Penjelasan Ahli
"Saya pikir kita semua agak kurang yakin pada apa yang terlihat di antara beberapa pasien di sana yang telah meminum (Chloroquin)," kata Dr Nasia Safdar, dilansir dari Dailymail.
Pasien bertanya tentang obat itu setelah Donald Trump mulai mempromosikan penggunaannya.
"Tetapi sekarang saya berpikir bahwa orang telah menyadari, kita tidak tahu apakah itu berfungsi atau tidak dan perlu penelitian lebih lanjut," kata Safdar.
Akhir-akhir ini, hydroxychloroquine dan remdesivir, obat yang awalnya dikembangkan untuk mengobati Ebola, telah ditarik ke garis depan untuk menangani pasien virus corona.
Remdesivir dianggap membantu memblokir kemampuan virus untuk mereplikasi diri.
Sementara hydroxychloroquine disebut masih diuji dan disebut mampu untuk membendung peradangan yang mengancam nyawa dengan 'badai sitokin.'
Badai sitokin sendiri dianggap sebagai penyebab sebagian besar kematian pasien terinfeksi virus corona.
Dilansir dari Kompas.com, pada prinsipnya, jika ada virus yang masuk ke dalam organ paru di tubuh, maka reaksi yang timbul adalah keluarnya sitokin-sitokin.
Untuk diketahui, sitokin adalah protein yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melakukan berbagai fungsi dan penting dalam penanda sinyal sel.
Pelepasan atau keluarnya sitokin ini dapat mempengaruhi perilaku sel di sekitarnya.
Sitokin yang keluar dalam jumlah sedikit tidak memiliki pengaruh pada kondisi paru pasien, atau keadaan parunya tidak bermasalah.
Akan tetapi kalau jumlah sitokin yang dikeluarkan di paru sudah banyak, disebut sebagai badai sitokin, maka itu akan membuat paru sangat padat dan kaku.
Artikel ini telah tayang di Tribunstyle.com dengan judul FATAL Pasien Virus Corona yang Diobati Chloroquine Lebih Banyak Meninggal Daripada Perawatan Standar