Menurut Wira, ‘ater-ater panganan’ ini telah lama dilakukan di lingkungan masyarakat Jawa lintas generasi dan akhirnya menjadi sebuah tradisi.
Baca Juga: Asal-usul Bubur India, Sajian Khas Buka Puasa di Masjid Pekojan Semarang Selama Ratusan tahun
Tradisi berbagi makanan saat Islam masuk
Tradisi ‘ater-ater panganan’ ini kemudian terus dipraktikkan masyarakat Nusantara termasuk ketika Islam masuk.
Masyarakat pemeluk agama Islam mengadopsi tradisi ini dengan mengaitkannya pada imbauan Nabi Muhammad melalui beberapa hadits.
Dalam salah satu hadits yang dijelaskan Wira, Nabi Muhammad SWT berpesan kepada sang istri, Aisyah, bahwa “yang habis adalah apa yang kita makan ini dan yang kekal adalah apa yang kita sedekahkan.” (HR. At-Tirmidzi)
“Dari sepenggal kisah ini, Rasulullah mengajarkan untuk memperbanyak sedekah, bahkan lewat makanan sekali pun,” jelas Wira.
"Tidak dibenarkan menimbun makanan dalam jumlah banyak, apalagi melahapnya secara berlebihan. Dalam Islam bahkan diajarkan untuk berhenti makan sebelum kenyang,” pungkasnya.
Pada awalnya, masyarakat Nusantara biasanya mengirimkan makanan-makanan yang sudah masak dan siap makan pada sanak saudara serta kerabat.
Namun, perlahan-lahan mereka mulai bergeser dengan mengirimkan makanan kemasan.
Seperti yang sering ditemukan sekarang ini, parsel dan hampers yang terdiri dari kemasan kue kering, biskuit, camilan, dan lain-lain.
Menurut Wira, hal ini diperkirakan terjadi karena masyarakat ingin mengirimkan bingkisan dengan cara yang lebih praktis.
Tradisi munjung di Jawa Barat
Tradisi berbagi makanan lainnya bisa ditemukan di Jawa Barat. Di sana ada tradisi bernama Munjung yang berasal dari kata ‘kunjung’.