Maka dari itu, sejak 2002, negara-negara Uni Eropa sudah melarang penggunaan minyak jelantah sebagai tambahan pakan ternak.
Lebih berbahaya lagi, penggunaan minyak jelantah ini bahkan bisa menyebabkan kanker.
Dalam European Journal of Lipid Science and Technology (2007), peneliti dari Brandeis University, Waltham, Amerika Serikat, Kenneth C. Hayes dkk., mengungkap pemakaian minyak jelantah yang berulang-ulang akan meningkatkan gugus radikal peroksida yang mengikat oksigen, sehingga mengakibatkan oksidasi terhadap jaringan sel tubuh manusia.
Apabila hal itu terus berlanjut, niscaya akan mengakibatkan kanker.
Pemakaian minyak jelantah sampai tiga kali masih dapat ditoleransi dan dianggap baik, atau tidak membahayakan bagi kesehatan manusia.
Tapi, jika sudah lebih dari tiga kali, apalagi kalau warnanya sudah berubah menjadi kehitaman, maka minyak goreng ini sudah menunjukkan indikasi tidak baik atau harus dihindarkan.
Secara kimia sendiri, minyak jelantah sangat berbeda dengan minyak sawit yang belum digunakan untuk menggoreng.
Peneliti dari Universidad de Costa Rica, Kosta Rika, Edmond K. Kabagambe, dalam The Journal of Nutrition (2005), mengungkap pada minyak sawit, terdapat sekitar 45,5 persen asam lemak jenuh yang didominasi oleh asam lemak palmitat dan sekitar 54,1 persen asam lemak tak jenuh yang didominasi oleh asam lemak oleat.
Sedangkan pada minyak jelantah, angka asam lemak jenuh jauh lebih tinggi daripada angka asam lemak tidak jenuhnya akibat reaksi hidrolisis dan oksidasi selama pemanasan saat digunakan untuk menggoreng.
Asam lemak jenuh sangat berbahaya bagi tubuh karena dapat memicu berbagai penyakit penyebab kematia, seperti penyakit jantung dan stroke.
Pada proses penggorengan pertama, minyak memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi.
Penulis | : | Virny Apriliyanty |
Editor | : | Virny Apriliyanty |
KOMENTAR