“Saya lihat jam, aduh sudah lewat jamnya ayah saya. Kayaknya saya udah bisa tenang. Tapi, kok kondisi Ria jadi begitu, ya?” ujar Dewi.
Dewi pun menceritakan kalau dini hari itu Ria juga susah sekali disuapi makanan, baik oleh dirinya maupun sang suami, Mayky.
Saat adzan subuh berkumandang, Dewi bersama suster yang mendapat giliran menjaga Ria karena Mayky menunaikan shalat subuh.
Dewi melihat kepala sang adik sudah lemas terkulai, seperti tak berdaya lagi.
Pikirannya saat itu, Ria mungkin sedang bercanda, karena begitu biasanya.
Pernah suatu waktu napas Ria sudah tersengal-sengal, kakak-kakaknya kira itu akhir usia Ria, dan mereka sudah berpelukan bak perpisahan.
Ternyata, itu akibat selang oksigen yang terputus.
Ria malah berseloroh, “Kalian pikir saya sudah mati, ya? Ha-ha-ha...”
Makanya, tak heran jika sebelum tahu adiknya sudah tiada, Dewi masih berusaha menyuapi madu ke mulut Ria, karena pukul 5 subuh Ria harus puasa.
Namun, ketika melihat madu itu malah keluar lagi dan posisi kepala adiknya janggal, Dewi pun bertanya pada suster yang berjaga.
“Aku tanya, Suster ini dia begitu, kumat atau normal, sih? Susternya coba manggil Ria, Ibu, Ibu…tapi enggak ada reaksi."
"Terus dipegangin pergelangan tangannya. Suster panggil dokter yang jaga, ternyata ketahuan pukul 4.40 meninggalnya,” ungkap Dewi sedih.
Lantas, saat detik-detik terakhir, adakah pesan khusus yang disampaikan Ria?
“Enggak ada, sih. Waktu kemarin, Ria kayaknya sudah tahu bakal pergi. Dia kan pakai masker ya, terus dia bilang ke saya, Kamu liatin saya terus, saya sudah berasa.
Saya sempat lihat ada dua air mata di mata kirinya,” kata Dewi.
Entah apa maksud tangis terakhir Ria, karena tak ada satu orang pun yang tahu artinya.
Tapi, yang pasti, Ria sudah tak lagi merasakan sakitnya.
Selamat jalan Ria.
Penulis | : | Virny Apriliyanty |
Editor | : | Virny Apriliyanty |
KOMENTAR