SajianSedap.com - Minyak goreng memang tidak bisa dipisahkan dari bahan pokok di dapur-dapur di Indonesia.
Soalnya, orang Indonesia paling suka dengan segala sesuatu yang kriuk bukan?
Karena itu, kalau ada minyak goreng murah dimanapun, kita langsung buru-buru akan menyerbu.
Biasanya, para ibu bahkan sudah tak lihat lagi merek dan kemasan kalau sudah menemukan promo minyak goreng murah di pasaran.
Baca Juga: Bukan Sekadar Hiasan, Mengapa Donat Bolong di Bagian Tengahnya?
Padahal kita sebenarnya harus banget hati-hati kala membeli minyak goreng, lo.
Soalnya, ada beberapa pedagang nakal yang mencampurkan bahan tak layak ke dalam minyak goreng.
Cari tahu ciri-cirinya supaya gak nyesel seumur hidup.
Sering Dijual Lagi Oleh Pedagang Nakal
Penggunaan minyak goreng untuk memasak akan menimbulkan dampak samping berupa limbah minyak goreng atau orang kerap menyebutnya sebagai minyak jelantah.
Meski sudah berupa limbah, minyak jelantah ternyata masih memiliki harga enokomis cukup tinggi.
Hal ini karena adanya proses daur ulang jelantah menjadi minyak goreng yang kemudian dijual kepada para pengusaha makanan khususnya, dengan harga lebih murah dibanding minyak goreng segar atau baru.
Padahal penggunaan minyak goreng hasil daur ulang maupun minyak jelantah ini sangat berbahaya bagi kesehatan.
Dalam Jurnal Biomass and Bioenergy (2009), ahli dari Departemen Teknologi Kimia dan Lingkungan di Universidad Rey Juan Carlos, Spanyol, Luis Fernando Bautista dkk., menyatakan minyak jelantah yang dipakai untuk menggoreng berkali-kali dapat merusak kesehatan tubuh manusia.
Baca Juga: Pada Zaman Dahulu, Benarkah Pasta Dibuat dengan Cara Diinjak?
Bahkan, minyak jelantah yang sering digunakan sebagai tambahan pakan ternak tetap berpotensi menimbulkan masalah kesehatan pada manusia.
Maka dari itu, sejak 2002, negara-negara Uni Eropa sudah melarang penggunaan minyak jelantah sebagai tambahan pakan ternak.
Lebih berbahaya lagi, penggunaan minyak jelantah ini bahkan bisa menyebabkan kanker.
Dalam European Journal of Lipid Science and Technology (2007), peneliti dari Brandeis University, Waltham, Amerika Serikat, Kenneth C. Hayes dkk., mengungkap pemakaian minyak jelantah yang berulang-ulang akan meningkatkan gugus radikal peroksida yang mengikat oksigen, sehingga mengakibatkan oksidasi terhadap jaringan sel tubuh manusia.
Apabila hal itu terus berlanjut, niscaya akan mengakibatkan kanker.
Dijelaskan juga, yang dimaksud dengan minyak jelantah adalah minyak goreng yang dipakai untuk menggoreng bahan makanan dalam satu proses penggorengan bahan makanan, lalu disimpan beberapa waktu lalu untuk kemudian digunakan lagi untuk menggoreng.
Tak hanya di sektor bisnis atau industri, hal semacam ini dikatakan cukup lazim pula dilakukan di dalam skala rumah tangga.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Sorgum, Alternatif Bahan Makanan Pengganti Beras yang Kaya Manfaat
Minyak yag digunakan pun bermacam-macam, ada yang terbuat dari kelapa, kelapa sawit, atau jagung.
Pada hakikatnya sebagian besar minyak goreng memang terbuat dari tumbuhan atau bahan nabati, dan yang paling digunakan di Indonesia adalah minyak goreng yang terbuat dari kelapa sawit.
Minyak goreng yang sudah dipakai itulah yang disebut minyak jelantah.
Masih Sayang Mau Buang Minyak Jelantah Dengan Ciri Ini?
Sebagai media transfer panas, saat proses penggorengan berlansung, dengan pemanasan yang tinggi hingga mencapai suhu 200 derajal Celsius, minyak goreng akan tereadsorbsi pada makanan.
Artikel berlanjut setelah video di bawah ini.
Minyak goreng ini akan masuk mengiri ruang-ruang kosong pada makanan sehingga hasil penggorengan mengandung 5-40 persen minyak.
Dengan demikian, mau tidak mau minyak goreng ikut terkonsumsi dan masuk ke dalam tubuh.
Hal ini tidak menjadi masalah selama minyak yang digunakan untuk menggoreng tidak rusak.
Akan tetapi, masyarakat kebanyakan tidak mengetahui hal tersebut dan terus menggunakan minyak jelantah berkali-kali hingga menjadi rusak.
Dengan begitu, minyak goreng yang digunakan dan dikonsumsi pun sudah tidak sehat lagi.
Penyebab hal ini sangat beragam, mulai dari faktor ekomomi, termasuk rasa sayang dan tak mau rugi jika minyak goreng harus dibuang dan diganti dengan yang baru.
Padahal minyak jelantah sudah rusak dan tidak layak dikonsumsi dari segi kesehatan.
Menurut penelitian, Kenneth C. Hayes dkk., kerusakan minyak goreng terjadi atau berlangsung selama proses penggorengan.
Hal ini pun mengakibatkan penurunan nilai gizi terhadap makanan yang digoreng.
Minyak goreng yang rusak dapat dikenali karena dapat menyebabkan tekstur, penampilan, cita rasa dan bau yang kurang enak pada makanan.
Jika warna minyak menjadi sangat gelap dan mengental, atau baunya tengik, sebaiknya jangan digunakan lagi.
Dengan pemanasan minyak yang tinggi dan berulang-ulang, juga dapat terbentuk akolein, di mana akrolein adalah sejenis aldehida yang dapat beberapa masalah, seperti:
- Menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan
- Membuat batuk konsumen
- Dapat mengakibatkan pertumbuhan kanker dalam hati dan pembengkakan organ, khususnya hari dan ginjal
- Pengendapan lemak dalam pembuluh darah (artherosclerosis)
- Penurunan nilai cerna lemak
- Penyakit jantung koroner
Walaupun hilang penampilan warna gelapnya, tapi proses penyaringan minyak jelantah tidak dapat menghilangkan kemungkinan timbulnya zat asam lemak trans yang terjadi setelah minyak goreng dipanaskan dengan suhu tinggi berulang kali.
Zat ini akan memengaruhi metabolisme profil lipid darah, yakni HDL kolesterol, LDL kolesterol dan total kolesterol.
Memang, dampaknya tidak langsung terjadi begitu saja.
Tapi, biasanya dari proses penumpukan atau akumulasi karena penggunaan yang terus-menerus, lalu terjadi efek berupa penyumbatan pembuluh darah yang kemudian disebut sebagai penyakit jantung koroner.
Dengan risiko bahaya tersebut, maka penggunaan minyak jelantah yang berulang kali perlu dihindari.
Hal ini tidak lain sangat penting untuk mencegah efek negatif yang dapat muncul dari penggunaan minyak jelantah.
Baca Juga: Jangan Lagi Makan Nasi Goreng Kalau Masih Dicampur 2 Bahan Ini, Nyawa Seisi Rumah Taruhannya
Penulis | : | Virny Apriliyanty |
Editor | : | Virny Apriliyanty |
KOMENTAR