"Seperti truk yang saya punya, untuk komplet di dalamnya ada panggangan untuk membuat sate, kompor untuk memasak, lalu penggorengan untuk menggoreng-goreng semua makanan ringannya. Komplet semua sampai pendingin dan pemanas makanan, semua biayanya kurang lebih 65.000 euro,” tandas Eva.
Diawali dengan dagang di tenda dulu tahun 2018, warung Eva lalu menggunakan truk di tahun 2020, namun "terhantam" pandemi Covid-19, di mana kadang-kadang tak boleh berjualan karena aturan lockdown.
Tahun 2021, Eva mulai bangkit lagi berjualan dengan aturan jaga jarak dan pendataan konsumen secara ketat. Perlahan tapi pasti, usaha Eva kembal menggeliat. Pengunjung pun makin ramai.
Ajang sosialisasi bahasa Indonesia Warung berjalan Eva menawarkan beragam masakan, mulai dari sate ayam, batagor hingga mie ayam.
"Sate ayam, sangat digemari oleh orang-orang Jerman. Lalu, sekarang vegan itu hits sekali di Jerman, jadi banyak pelanggan kita yang vegan, jadi saya sediakan gado-gado. Gado-gadonya tanpa telur. Mereka suka makannya pakai sambal kacang. Mereka selalu minta tambahan sambal kacang. Saya buat batagor, tapi vegan juga ya. Batagornya vegan, mereka juga suka sekali," papar Eva.
Lumpia dibanderol dengan harga 5 euro atau Rp 75.000 seporsi, batagor 8 euro atau Rp 120.000 rupiah sepiring, gado-gado 9 euro atau sekitar Rp 134.000 rupiah, mi ayam bakso 10 euro atau sekitar Rp 150.000 semangkuk, demikian pula harga sate ayam.
Nasi rendang harganya 11 euro atau Rp 164.000 rupiah per porsi. Sementara gabungan cemilan yang terdiri dari beberapa bakwan sayur, tempe mendoan, dan lumpia harganya sekitar Rp 164.000 rupiah juga sebaki.
"Pertama kali mengenalkan rendang, mereka selalu berpikir, oh, ini kan seperti goulash, saya jawab ini berbeda, kami pakai kelapa, santan. Lalu, saat mereka coba, karena bentuknya, warnanya, memang tidak terlalu menarik, saya hiasi juga di piring, pakai sayuran selada."
"Jadi, ada daya tarik warna-warni di dalam mangkok atau piring yang saya sajikan. Jadi, saat mereka coba rendang, kembali lagi, datang lagi, beli lagi," kata Eva menceritakan pengalamannnya. Selama berjualan, Eva juga sering bertanya pada pelanggan, "Enak tidak masakannya?” Pelanggan biasanya menjawab" Ah, sehr gut! Sehr lecker! (ed: sangat enak)." Eva dan timnya mengajarkan kata "enak" dan "terima kasih". "Jadi kami juga biasakan ada sedikit percakapan dalam bahasa Indonesianya. Misalnya: sampai jumpa, mereka juga tahu kata-kata itu," ujar Eva.
"Tapi yang paling lucu, mereka datang ke truk, lalu bilang: Halo, selamat pagi! Saya lapar! Atau: Halo, selamat malam! Ada makanan apa?”, pelanggan akrab jadinya sama kita-kita di truk makanan," tambah Eva. Thomas Helmer yang pernah mencoba masakan di truk makanan ini bercerita, dia suka sekali sate ayam yang dibelinya.
"Tidak terlalu pedas, dan bumbu kacangnya terasa enak di lidah. Batagor juga enak, tapi kurang banyak," kata pegawai museum warga Frankfurt ini sambil tertawa.
Sementara Eni Latief, perempuan asal Indonesia yang juga tinggal di Frankfurt, kadang membeli makanan di warung mobil Eva, jika tak sempat memasak di rumah.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Raka |
Editor | : | Raka |
KOMENTAR