SajianSedap.com - Tahun 2022 lalu BPOM mengeluarkan berita soal adanya air galon yang terpapar BPA melebihi ambang batas.
Hal ini tentu membuat resah masyarakat yang kebanyakan memang bergantung pada konsumsi air galam.
Melansir National Institute of Enviromental Health Sciences, BPA atau bisfenol-A adalah senyawa kimia yang digunakan dalam pembuatan plastik polikarbonat.
BPA dapat larut dalam produk pangan dari produk konsumen seperti kemasan plastik polikarbonat.
BPA sendiri sering dikaitkan dengan munculnya penyakit berbahaya seperti kanker, lo.
Tapi, sejauh manakah BPA pada air galon bisa betul-betul jadi penyebab kanker?
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan kadar paparan BPA yang melebihi ambang batas pada air minum dalam kemasan (AMDK).
Penemuan tersebut berasal dari uji migrasi pada air minum kemasan galon berbahan plastik polikarbonat yang dilakukan BPOM periode 2021-2022.
Hasil uji imigrasi ini dilaporkan oleh BPOM Medan, yang mengungkapkan bahwa terdapat senyawa bisfenol-A atau BPA pada air galon guna ulang sebesar 0,9 ppm per liter.
Padahal, ambang batas aman yang telah ditentukan yakni 0,6 bagian per juta (ppm) per liter.
Kepala Balai BPOM Medan Martin Suhendri, menyebutkan paparan BPA di air galon ditemukan di enam wilayah Indonesia, di antaranya berikut ini.
• Jakarta
• Bandung
• Medan
• Manado
• Banda Aceh
• Aceh Tenggara
"Hasil uji migrasi BPA pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang melebihi 0,6 ppm," kata Matrin, dikutip dari Kompas.com, Rabu (14/9/2022).
Lebih lanjut dijelaskan, paparan BPA di air galon guna ulang sebagian besar terjadi pada sarana distribusi dan peredaran.
Melihat hasil uji migrasi BPA, disebutkan 46,97 persen terjadi di sarana distribusi dan peredaran. Sedangkan 30,19% di sarana produksi.
Dugaan sementara paparan BPA pada air minum dalam kemasan disebabkan oleh proses pasca produksi.
Baca Juga: Cara Mengangkat Galon yang Benar, Begini Trik yang Aman Agar Tak Cidera
Misalnya saja, transportasi dan penyimpanan air galon guna ulang dari pabrik menuju ke konsumen.
Selama proses tersebut berlangsung, kemasan terkena panas atau dibanting-banting.
"Awalnya kandungannya BPA-nya zero, tetapi di lapangan meningkat karena penanganan yang kurang baik," jelasnya.
Sejauh ini, belum ada banyak data yang cukup jika mengaitkan BPA sebagai salah satu penyebab penyakit, seperti kanker atau infertilitas.
Lalu, bagaimana BPA jika dilihat dalam kacamata ahli polimer, berikut ini ulasannya bersama dengan Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D. selaku Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran ITB setelah diwawancara oleh tim GridHEALTH.id pada Jumat (07/10/2022).
Galon isi ulang mengandung BPA, BPA sendiri dijelaskan oleh ahli polimer sebagai bahan baku dari beberapa plastik polimer, yang terkenal itu polikarbonat dan epoksi.
Melihat suatu bahan baku berbahaya atau tidak berdasarkan kacamata ahli polimer, disebutkan harus ada empat syarat yang dilihat, yaitu:
1. Jenis
2. Jumlah
3. Konsentrasinya
4. Lama kontak
Baca Juga: Cara Membuat Es Batu Bening Tanpa Pakai Air Galon, Rahasianya Lakukan 3 Cara Sederhana Ini
"Jadi yang penting, (selain melihat jenisnya,) tiga faktor tambahan lainnya itu, jumlahnya sedikit, konsentrasinya juga kecil, dan waktu kontaknya tidak lama, dengan begitu, itu yang menyebabkan bahan itu dikatakan aman," ucap Zainal menjelaskan cara kerja empat syarat ini sebagai kewajiban dalam menilai produk plastik.
Berdasarkan pernyataan Pak Zainal melihat hasil penelitian di berbagai laboratorium, angkanya itu jauh dari angka persyaratan yang sudah ditetapkan, artinya pada posisi aman.
Pak Zainal sendiri menjelaskan, jika melihat dari kacamata ahli polimer, maka melihat bahan berbahaya pada plastik adalah hal normal.
"Melihat suatu bahan baku berbahaya atau tidak itu biasa saja, karena ketika sudah direaksikan yang kita gunakan kan produknya, yaitu plastik atau polimer. Plastiknya itu termasuk plastik yang aman, polimer aman,
"Jadi kalau hanya melihat ada bahan, jenisnya itu (bahan BPA atau yang lainnya) terus dikatakan berbahaya, itu salah. Jadi harus ada tiga komponen lainnya itu, jumlahnya berapa, konsentrasinya berapa, lama kontaknya berapa lama," kata Pak Zainal menjelaskan cara melihat suatu bahan plastik berbahaya atau tidak.
"Sekarang yang diramaikan kemasan galon, kalau saya lihat barang ini sudah lebih dari 50 tahun digunakan, jadi kalau sekarang itu diramaikan, lebih karena ada yang meramaikan, bukan karena hakekat yang tadi itu, ada yang mati, ada yang kanker, gaada," sambung Zainal.
Menurutnya, pada dasarnya bahan kemasan plastik lainnya pun sama-sama memiliki risiko berbahaya, tidak hanya BPA, namun semua masih bisa dikategorikan aman karena telah memenuhi empat syarat tersebut, "Semuanya berada dalam posisi aman karena kadar, jumlah, dan lamanya kontak, jadi gaada masalah."
Semua bahan itu berbahaya, hanya saja semua akan dikategorikan lagi berdasarkan keempat syarat tersebut, sehingga masih bisa dikategorikan aman untuk digunakan oleh masyarakat hingga saat ini.
GHS sendiri diketahui sebagai suatu pendekatan universal dan sistemik untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan bahaya kimia dan mengkonfirmasikan bahaya tersebut pada label dan lembar data keselamatan, juga sudah digunakan sebagai prinsip-prinsip dasar untuk penetapan program keselamatan bahan kimia.
"Tidak bisa langsung menilai begitu, dan itu sekarang kan regulasi internasional yang menggunakan GHS, itu patokannya," kata Zainal meminta regulator untuk kembali merujuk pada penerapan GHS.
Terlebih disebutkan dalam GHS bahwa setiap negara juga menetapkan angka yang berbeda-beda, karena ketahanan orang di setiap daerah atau setiap negara juga beda-beda terhadap suatu bahan yang sama, jadi adalah keputusan yang ditentukan oleh pemerintah setempat untuk memutuskan berapa batas aman untuk penduduknya.
Baca Juga: Trik Menghilangkan Lumut di Galon Air Tanpa Sikat, Bisa Luruh Semua dengan 3 Bahan ini
"Untuk regulator, bahan berbahaya itu banyak sekali, ada listnya panjang, kalau mau meregulasi kan tidak boleh diskriminatif, jadi harus mencakup semua barang yang itu (barang yang dikategorikan berbahaya), jangan cuma fokus ke barang yang satu ini (galon isi ulang), nanti dipertanyakan independensinya dan itu ga bagus untuk kehidupan berbangsa dan bernegara kita," sambung Pak Zainal mengingatkan.
Pak Zainal juga mengharapkan pihak-pihak terkait dapat mengikuti regulasi yang telah dibangun sesuai dengan UU No 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan oleh BPOM, dengan demikian tidak menimbulkan isu yang diskriminatif.
"Ya itu masalahnya disitu sebenarnya, bukan soal BPA, bukan soal etilen glikol, bukan soal VCM (vinil klorida), bukan soal yang lain-lain, tapi soal regulasi yang dirasakan kurang fair, saya kira itu,
"Jangan juga membuat label, misalnya pada polikarbonat itu disebutkan BPA-free, menurut saya secara ilmu pengetahuan ga mungkinlah betul-betul free, pasti ada kandungannya sedikit atau apa, ini dari kacamata saya sebagai ahli polimer ya," ujar Pak Zainal.
"Regulasi kita mestinya harus lebih mengadop sistem GHS ini, karena itu lebih rasional dan secara ilmu pengetahuan juga lebih bener, jadi jangan menyebut langsung nama bahan, langsung dinyatakan begitu,
"Bahkan bahasanya begini. Sesungguhnya setiap bahan itu berbahaya, hanya jumlah dan konsentrasi, dan lamanya kontak yang menyebabkan bahan itu dinyatakan aman. Mudah-mudahan ini jadi pengertian yang lebih luas, agar kita bisa memanfaatkan bahan itu secara baik, tidak terjerumus pada yang berlebihan dan akhirnya tidak baik,"kata Pak Zainal.
Pak Zainal juga menyampaikan masyarakat perlu mengingat bahwa setiap bahan berbahaya yang akhirnya diolah menjadi wadah plastik, tentu telah direaksikan oleh bahan lainnya dan kandungannya sudah direduksi dalam panas tertentu sehingga kadarnya kecil dan aman bagi tubuh.
Masyarakat dihimbau untuk tidak khawatir berlebih dan memastikan lebih jauh bukti-bukti ilmiah yang mendukungnya, sehingga masyarakat tetap bisa memanfaatkan bahan-bahan ini untuk meningkatkan kualitas hidup jika masih digunakan dalam jumlah yang aman dan sesuai.
Jika masyarakat ingin mengetahui lebih dalam mengenai suatu produk, maka masyarakat dapat melihat lebih jauh di laman resmi BPOM, di https://cekbpom.pom.go.id/ .
Penulis | : | Virny Apriliyanty |
Editor | : | Virny Apriliyanty |
KOMENTAR