SajianSedap.com - Rujak cingur adalah salah satu makanan tradisional yang mudah ditemukan di daerah Jawa Timur, terutama di daerah asalnya Surabaya.
Kuliner merakyat ini berisikan irisan sayur rebus seperti selada air, tauge, kangkung, lontong, timun, tahu tempe dan cingur atau moncong sapi. Terkadang ada juga yang ditambahkan dengan buah segar seperti nanas, bengkoang, blimbing bahkan melon.
Semua isian tersebut dipotong kecil-kecil dan disiram ulekan kacang, pisang batu dan petis sehingga warnanya cokelat/kehitaman.
Ciri khas dari rujak cingur Surabaya adalah potongan cingur atau moncong sapi yang sudah direbus dengan bumbu gurih.
Menghadirkan citarasa yang berbeda ditengah kombinasi rasa gurih, asin, asam, pedas saus petis. Rujak cingur Surabaya digadang sebagai rujak cingur paling lezat di antara daerah-daerah yang lain.
Lantas dari mana asal rujak cingur?
Diduga dari kreativitas pedagang memenuhi hasrat kuliner pelanggannya sehingga tercipta perpaduan ”djanganan” dan rujak buah. Hibriditas iseng itu kemudian justru disukai hingga sekarang.
Beberapa tahun lalu nama rujak cingur pernah melejit, saat ada pemberitaan bahwa asal-usulnya dari Mesir dan merupakan makanan kesukaan Raja Firaun. Berita daring tersebut dirujuk dan ditulis ulang oleh beberapa media online di Tanah Air. Hal itu menimbulkan kehebohan, dan belakangan, media yang pertama kali menulis kabar tersebut sudah mencabut dan merevisi tulisan itu.
Lantas dari mana asal rujak cingur ini?
Menurut Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur dalam laman tulisan Makanan Khas Jawa Timur Menggoyang Lidah Nusantara disebutkan bahwa cingur adalah bagian dari moncong (mulut) sapi, tepatnya di daerah sekitar hidung, bibir, dan dagu sapi.
Beberapa penjual rujak cingur, kadang memasang cingur secara utuh sebagai bagian dari kepala sapi, untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar memakai cingur dan bukan hanya kulit atau kaki sapi.
Baca Juga: Dinobatkan Jadi Sup Terenak di Dunia, Ini Fakta Menarik dan Sejarah Rawon
Source | : | Kompas.id |
Penulis | : | Amelia Pertamasari |
Editor | : | Raka |
KOMENTAR