Nama tangyuan sendiri pun terdengar identik dengan istilah tuán yuan yang dalam bahasa Tiongkok berarti reuni. Diyakini secara luas bahwa menyantap tangyuan bersama orang yang dicintai akan membawa kebahagiaan dan keberuntungan di tahun baru.
Dilansir BBC, tangyuan diyakini sudah ada lebih dari 1.100 tahun lalu ketika masa Dinasti Tang (618-907 M). Saat itu orang-orang di Ningbo mulai memakan sejenis bola ketan yang diisi dengan wijen hitam, lemak babi, dan gula putih yang lembut.
Ada beberapa nama untuk hidangan tersebut, tetapi pada awal 1400-an dikenal luas sebagai yuanxiao yang berarti malam pertama.
Nama itu diambil untuk menghormati bulan purnama pertama Festival Yuanxiao atau Festival Lentera.
Namun, legenda mengatakan bahwa antara 1912-1916, Presiden China saat itu, Yuan Shikai, memberi perintah untuk mengubahnya. Sehingga kemudian diubah menjadi tangyuan yang secara harfiah berarti bola bundar dalam sup.
Orang China datang ke Indonesia membawa beragam budaya, termasuk makanan. Tangyuan pun lantas dikenalkan kepada orang Indonesia.
Namun, masyarakat Indonesia melakukan modifikasi dengan bahan-bahan yang ada di Nusantara, sehingga muncul wedang ronde.
Dalam buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara (2013) dijelaskan bahwa ronde berasal dari bahasa Belanda yakni "rond" yang artinya bulat.
Kemudian dalam bahasa Belanda jamak digunakan akhiran "je" sehingga menjadi "rondje".
Namun, bagi orang pribumi sulit untuk mengucapkan rondje, sehingga akhirnya menjadi ronde. Ronde yang disajikan di Indonesia pun mempunyai berbedaan dengan tangyuan.
Hasan Karman, budayawan peranakan Singkawang menjelaskan bahwa sebenarnya dalam tangyuan tidak boleh ada rasa asin, pedas, asam, apalagi pahit.
Source | : | Kompas |
Penulis | : | Amelia Pertamasari |
Editor | : | Raka |
KOMENTAR