Baca Juga: Mengenal Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta, Tradisi Unik Berbagi Hasil Bumi Kepada Masyarakat
Tradisi meugang memiliki nilai historis yang berkaitan dengan penyebaran Islam di Aceh sekitar abad ke-14 masehi.
Melansir dari laman Pemerintah Kota Banda Aceh, tradisi ini sudah dimulai sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam.
Pihak Kerajaan Aceh Darussalam menggelar tradisi meugang yang dihadiri oleh sultan, menteri, pembesar kerajaan, serta ulama.
Pada hari itu, raja membagikan daging, pakaian, dan beras, kepada fakir miskin dan dhuafa.
Sumber lainnya menyatakan bahwa tradisi meugang berawal dari Sultan Iskandar Muda. Sebagai wujud rasa syukur menyambut Ramadhan, maka Sultan Iskandar Muda memotong lembu atau kerbau, kemudian dagingnya dibagikan kepada rakyat.
Setelah Kerajaan Aceh ditaklukan oleh Belanda pada 1873, tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh raja.
Namun, karena tradisi ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, sehingga meugang tetap dilestarikan oleh masyarakat hingga saat ini.
Meskipun lebih dikenal dengan nama meugang, namun ternyata tradisi ini memiliki beberapa sebutan lainnya.
Meskipun berbeda, namun masih merujuk pada tradisi yang sama.
Meugang juga dikenal dengan nama mak meugang, haghi mamagang, uroe meugang, atau uroe keuneukoh, seperti dikutip dari laman Pemerintah Kota Banda Aceh.
Selain menghormati hari suci umat Islam, tradisi meugang memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Aceh.
Source | : | Kompas |
Penulis | : | Amelia Pertamasari |
Editor | : | Raka |
KOMENTAR