Bangunan yang merupakan bagian sejarah penting dalam masuknya aliran seni modern di Indonesia ini akan diresmikan sebagai sebuah oase seni budaya dan kuliner dengan tajuk “Tugu Kunstkring Paleis”. Tanggal 17 April 1914, ada keramaian di Van Heutsz Boulevard, ibukota Batavia. Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda Frederick Idenburg secara resmi membuka sebuah gedung pusat seni Gedung Kunstkring. Didesain oleh arsitek P.A.J. Moojen, bangunan penuh kharisma ini dimiliki oleh Nederlansch Indische Kunstkring, kelompok seniman dan budayawan Hindia Belanda. Sejak saat itu Gedung Kunstkring difungsikan sebagai Bangunan tempat pameran karya, pagelaran musik, kuliah seni, kelas melukis, serta perpustakaan seni di tahun 1914-1942an.
Dalam perjalanannya, Gedung Kunstkring sempat berubah fungsi menjadi kantor imigrasi di tahun 1950-1993, kemudian sempat juga terbengkalai dan dijarah, gedung ini pun dipugar dan dialihfungsikan sebagai restoran dan galeri seni pada tahun 2013. “Ketika menata gedung ini, satu hal yang amat kami perhatikan adalah bagaimana menjaga keaslian fisik bangunan dan mempertahankan kisah sejarahnya, mengembalikan keindahan sekaligus meniupkan jiwa kesenian serta kebudayaan Nusantara.” Ungkap Anhar Setjadibrata, pendiri Tugu Group.
Gedung legendaris ini pun kedepannya akan dipertahankan penggunaannya seperti 99 tahun yang lalu, yaitu untuk gedung pameran dan penjualan barang-barang seni, area pagelaran, pertunjukan dan berbagai acara yang memerlukan keindahan seni dan kharisma sejarah yang luar biasa, serta restaurant & lounge yang dipersembahkan oleh Group Hotel Tugu. Tanggal 20 Maret 2013 lalu Jaringan Hotel Tugu memperoleh HIW (Hospitality Investment World) CULTURE AWARD, suatu Penghargaan kepada jaringan hotel yang telah berhasil dengan gilang gemilang mengagungkan dan menjaga kekayaan budaya Indonesia. Berkali kali Hotel Tugu juga memperoleh penghargaan sebagai salah satu hotel terbaik di dunia.
Di bawah naungan manajemen Tugu Grup dan Lingkar Seni Indonesia, Gedung Legendaris ini telah berada di tangan yang tepat untuk kembali tinggal landas menuju kejayaannya. Arsitekturnya yang elegan penuh kharisma kini telah berkilau lagi. Jiwa-jiwa dan roh seni budaya seolah telah ditiupkan kembali ke dalam gedung ini. Misi kami adalah menjadikannya sebagai sebuah Istana yang Berpendar bak Ratna Mutu Manikam. Sebuah tempat dimana kita bisa memamerkan keindahan karya anak bangsa kepada dunia. Dengan ini Tugu Kunstkring Paleis membuka pintunya bagi seluruh lapisan masyarakat dunia, mulai dari kepala negara hingga penikmat seni dan siapa saja yang mencari keindahan dan oasis ditengah hingar-bingarnya Jakarta. Gedung Kunstkring ini adalah sebuah Istana Seni dalam arti yang sesungguhnya, ia adalah sebuah ikon seni dan budaya yang benar-benar pantas menjadi kebanggaan seluruh warga DKI Jakarta dan rakyat Indonesia.
Kilas Sejarah Kunstkring
Kata Kunstkring berasal dari bahasa Belanda yang artinya Lingkaran Seni. Mereka ini adalah sekelompok orang-orang seni yang ingin menggairahkan kegiatan seni modern dan dekoratif di tanah jajahan. Sebelum mendirikan gedung sendiri, kegiatan-kegiatan Kunstkring seperti malam penggalangan dana dan pertemuan-pertemuan seni dulunya diselenggarakan di gedung-gedung lain seperti Eastern Star Masonic Lodge atau di Royal Naturalists Society.
Setelah bertahun-tahun mengumpulkan dana, akhirnya gedung Kunstkring pun berhasil dibangun dan dibuka pada tanggal 17 April 1914. Awalnya, Kunstkring yang menjadi ajang pameran dan pusat belajar bagi para seniman muda sempat dipandang sebelah mata oleh para kritikus karena hanya memamerkan karya-karya artis ‘belajaran’. Namun dalam perjalanannya, Kunstkring berevolusi menjadi arena seni multifungsi dan menumbuhkan seniman-seniman profesional. Di masa kejayaannya, berbagai pameran digelar disini, mulai dari karya ‘yang tak keruan kelasnya’ hingga kerajinan ukiran Bali yang luarbiasa indah dan bahkan menjadi tuan rumah bagi lukisan-lukisan kelas dunia karya Vincent Van Gogh, Pablo Picasso, Paul Gauguin, dan Marc Chagall. Tak hanya tempat pameran, Kunstkring juga menjadi ajang pertemuan para insan kreatif di Batavia. Mereka biasa duduk-duduk di café Stam en Weynes sambil menyesap wine dan santap siang. Tahun 1934-1939 benar-benar menjadi masa gemilang Kunstkring sebagai oase seni di tanah jajahan.
Ruang Pangeran Diponegoro & Ruang Multatuli Di malam pembukaan Kunstkring, untuk pertama kalinya akan dipamerkan kepada publik, lukisan THE FALL OF JAVA, sebuah lukisan raksasa berukuran 9x4m yang berkisah tentang penangkapan Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830 dirumah Residen Magelang sebagai akibat tipuan dan ingkar janji dari Jenderal De Kock. (Pada waktu itu Belanda dan seluruh tanah jajahannya berbentuk kerajaan yang dipimpin oleh Willem I) Sepanjang sejarah lukisan, adegan penangkapan Pangeran Diponegoro hanya pernah dilukis oleh J.W. Pieneman dan Raden Saleh. Jadi lukisan The Fall of Java merupakan lukisan ketiga di dunia yang menggambarkan salah satu peristiwa sejarah paling ikonik di Indonesia ini. Publik dapat mengapresiasi lukisan ini di Ruang Pangeran Diponegoro yang kami dedikasikan terhadap perjuangan sang Pahlawan Berkuda. Di dalam lukisan dramatis ini pelukis menggambarkan dirinya sedang mempersembahkan sebuah cawan berisi air minum terakhir kepada sang Pangeran sebelum Belanda membuangnya ke Menado pada tahun 1830. Itulah titik dimana Perang Jawa berakhir. Sebuah perlawanan besar-besaran dari anak bangsa, berlangsung selama lima tahun tahun dan hampir membangkrutkan pemerintah kolonial. Penangkapan Diponegoro adalah sebuah kejadian yang begitu tragis hingga sang pelukis memberinya simbol sebagai momentum “Jatuhnya Pulau Jawa”.
Untuk menambal kerugiannya, Belanda kemudian menerapkan sistem tanam paksa yang menyengsarakan jutaan rakyat Indonesia. Hingga di tahun 1860 seorang Belanda bernama Edward Douwes Dekker, bekas asisten Residen Lebak membongkar kekejaman penjajah lewat buku roman karangannya, MAX HAVELAAR. Di dalam buku ini, penulis yang menyamarkan namanya menjadi Multatuli menggambarkan kesengsaraan rakyat akibat kekejaman dan korupnya pejabat-pejabat lokal pribumi dibawah lindungan pemerintah Hindia Belanda. Buku Max Havelaar ini sangat menghebohkan parlemen Belanda yang kemudian mendesak pemerintahnya untuk menghapus sistem tanam paksa. Di Kunstkring Paleis kami juga mendedikasikan Ruang Multatuli untuk mengenang jasa Douwes Deker bagi bangsa Indonesia. Memasuki area gedung, barisan lampion gantung dengan motif cantik akan menyambut Anda. Motif ini merupakan hasil karya Pieter Ducro, yang ditemukan secara kebetulan dibalik sebuah pigura karya Moojen, arsitek Kunstkring.
Selain itu, adapula motif karya I Gusti Nyoman Lempad dari tahun 1935, yang berjudul “Ni Bawang dan Ni Kesuma”. Jelajah Romansa Kuliner Tak hanya seni lukis dan kerajinan tangan, di masa kolonial, orang-orang Belanda juga sungguh menikmati seni bersantap alias budaya kuliner. Dalam pesta-pesta di perkebunan dan di hotel yang mewah-mewah seperti Des Indes di Mollenvliet (sekarang Jalan Gajah Mada, kompleks pertokoan Duta Merlin) mereka kerap menggelar acara pesta makan-makan nasi dengan berbagai lauk yang disebut “Rijstaffel”. Rijsttafel Betawi sebagai bentuk gaya hidup Noni dan Tuan di tahun 1910an dihadirkan kembali secara autentik dan dramatis oleh Tugu Restaurant di gedung Kunstkring. Penyajiannya yang bergaya Eropa dengan hidangan lokal Betawi ini akan menghidupkan lagi seni boga adiluhung yang menjunjung hidangan pribumi. Betapa kaya rayanya tradisi penyajian dan ragam kuliner Batavia di era penjajahan.
Jangan lupa duduk sebentar di Lounge “The World of Suzie Wong” yang elegan penuh gaya, terinspirasi dari film berjudul sama yang sempat jadi box office dan memenangkan dua piala Golden Globe di tahun 1960an. Berseting di masa pasca-perang Hong Kong, film yang diadaptasi dari novel Richard Mason ini menggemparkan dunia dengan kisah asmara yang penuh kontroversi. Bioskop legendaris Megaria di Menteng turut bertanggung jawab atas terjangkitnya Jakarta terhadap demam Suzie Wong saat itu.
Untuk Anda yang ingin mencari sudut romantis di sore hari, langkahkan kaki ke Balkon van Menteng di lantai dua. Sambil menyesap secangkir teh atau kopi hangat, nikmati suasana Menteng hingga di penghujung senja, ditemani roti-roti Eropah bercita rasa nostalgia atau beberapa skup es krim buatan rumahan. Kemudian lanjutkan dengan makan malam dan melirik pameran karya seni yang diselenggarakan Toko barang seni di sebelahnya.
KOMENTAR