Sajiansedap.id – Lebih dari lima juta anak-anak di Yaman mengalami kelaparan akibat konflik yang berkepanjangan.
Save the Children juga mencatat harga bahan pangan serta bahan bakar di Yaman melambung tinggi.
Selain itu, Yaman pun mengalami kemerosotan nilai mata uang.
Kepala bantuan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyuarakan tanda bahaya di Dewan Keamanan pada Selasa (23/10).
Menurut PBB setengah penduduk Yaman berada di jurang kelaparan dan mereka bergantung sepenuhnya pada bantuan kemanusiaan untuk tetap bertahan hidup.
Kepala Bantuan PBB, Mark Lowcock mengatakan, “Sekarang sudah tampak jelas akan terjadi bahaya kelaparan besar dan segera di Yaman, jauh lebih besar daripada apa yang para ahli di lapangan lihat dalam menjalankan profesi mereka selama ini."
Baca Juga : Warga Kelaparan Hingga Berebut Makanan, Bupati Donggala Menangis, Pemerintah Pusat Lebih Prioritaskan Palu
Kenapa di Yaman Terjadi Konflik?
Yaman merupakan salah satu negara miskin yang sudah dilanda konflik sejak tahun 2015 silam.
Konflik di Yaman berawal ketika pemberontak Houthi merebut kendali bagian barat Yaman.
Selain merebut kendali bagian barat negara itu, pemberontak Houthi juga memaksa Presiden yang menjabat sejak tahun 2012, Abdrabbuh Mansour Hadi mundur dari jabatannya.
Negara-negara Arab kemudian menyerukan dunia internasional untuk merespon krisis politik di Yaman.
Arab Saudi, Uni Emirat Arat, dan tujuh negara lainnya kemudian memutuskan untuk mengintervensi dan berupaya mengembalikan kekuasaan pemerintah Yaman.
Mereka menilai Iran berada di balik pemberontak Houthi.
Dilansir dari Telergraph, Jumat (26/10), saat ini situasi konflik di Yaman diperparah oleh pertempuran untuk memperebutkan Hodeida.
Baca Juga : Krisis Kelaparan Melanda Venezuela, Pengantar Makanan Jadi Pekerjaan Berbahaya, Diburu Seperti Buronan!
Artikel berlanjut setelah video berikut ini.
Kota yang terletak di pantai Laut Merah Yaman itu dikendalikan oleh para pemberontak dan diblokade oleh Arab Saudi dan sekutunya.
Akibatnya, pengiriman bantuan menjadi sedikit terhambat.
Kondisi Anak-anak di Yaman, Kekurangan Makanan dan Kelaparan
Save the Children telah memperingatkan bahwa jumlah anak-anak yang menghadapi kelaparan bisa terus meningkat jika pertempuran untuk memperebutkan Hodeida terus berlangsung.
Helle Thorning Schmidt, CEO Save the Children Internasional, mengatakan, “Jutaan anak di Yaman tidak tahu kapan atau apakah bantuan makanan berikutnya untuk mereka akan datang. Perang ini berisiko membunuh seluruh generasi anak-anak Yaman yang menghadapi berbagai ancaman, mulai dari bom, kelaparan, hingga penyakit kolera."
Baca Juga : Sukses Kuliah di Luar, Tasya Kamila Curhat Pernah Kelaparan Sampai Turun 5 Kilo Karena Hal Ini
Harga makanan di beberapa bagian negara telah melambung tinggi hanya dalam beberapa hari.
Menurut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis di Inggris sebanyak 5,2 juta anak di seluruh Yaman berisiko kelaparan.
Pekan ini PBB mengatakan bahwa harga makanan naik tajam sebesar 68 persen sejak 2015, ketika sebuah koalisi militer regional yang dipimpin oleh Arab Saudi bergabung dengan pemerintah untuk melawan pemberontak Huthi.
Biaya keranjang makanan, yang berisi makanan pokok dan barang kaleng, meningkat sebesar 35 persen.
Sementara itu, harga bahan bakar meningkat lebih dari 25 persen selama tahun lalu.
PBB juga memperingatkan bahwa pertempuran di Hodeida dapat menghentikan distribusi makanan.
Padahal, delapan juta warga Yaman bergantung kepada bantuan tersebut untuk bertahan hidup.
Baca Juga : Miris, Di Indonesia Semarak Pesta Daging, Masyarakat Miskin Venezuela Justru Rela Makan Daging Busuk
Schmidt mengungkapkan bahwa Ia telah mengunjungi salah satu rumah sakit yang terletak di Yaman Utara.
Menurutnya kondisi bayi-bayi di sana sangat memperihatinkan, bahkan bayi-bayi itu tidak dapat menangis karena tubuhnya terlalu lemah.
Tubuh bayi-bayi tak berdosa itu kelelahan karena kelaparan.
Semoga konflik ini segera berakhir dan anak-anak tersebut dapat menikmati hidup layak.
Baca Juga : Sering Konflik Berebut Budaya, 6 Kuliner Ini Justru Jadi Pengerat Hubungan Indonesia dan Malaysia
KOMENTAR