Seiring berjalannya waktu, kian banyak suara lain yang memicu kondisi misophonia-nya.
Suara lembaran kertas atau bahkan suara langkah kaki memaksanya untuk mengisolasi dirinya sendiri.
Suara ketukan keyboard di kantornya pun kerap menjadi alasan baginya untuk izin keluar ruangan.
"Akhirnya saya pergi ke dokter. Tetapi malah ditertawakan," katanya dikutip dari New Scientist pada Rabu (2/1/2018).
"Penderita misophonia kerap kali harus membuat berbagai penyesuaian terhadap hidup mereka, tujuannya adalah agar mereka 'tetap bisa hidup'," kata Miren Edelstein dari University of California, San Diego. Rekan Edelstein, V. S. Ramachandran, menambahkan bahwa hal yang sulit dipahami ini bisa melumpuhkan penderitanya.
Penelitian-penelitian terkini, termasuk yang dilakukan oleh Edelstein dan Ramachandran, membuktikan bahwa misophonia bukanlah gejala dari gangguan lain seperti obsessive compulsive disorder (OCD).
Ia juga bukan persoalan terlalu sensitif pada perilaku atau kebiasaan buruk orang lain.
Baca Juga : Selepas Pesta BBQ di Malam Tahun Baru, Ayu Dewi Tulis Pesan Super Mengharukan Soal Ibunya 'Bismillah 2019'