Saya dituntun kedua anak saya di kiri dan kanan. Istri saya berjalan di belakang untuk menahan punggung saya.
"Itu taksi," kata istri saya, beberapa meter di pintu gerbang.
"Pak, ke rumah sakit ya, yang paling dekat," ujar istri saya. Taksi langsung meluncur.
Namun, baru sesaat masuk ke jalan raya, panik mulai melanda.
Bukan apa-apa, dada saya makin sesak. Dashboard taksi ini seperti mengimpit. Badan saya juga makin lama semakin lemas.
"Tuhan... saya ingin sampai lebih dulu ke rumah sakit, jangan dulu biarkan saya mati," batin saya terus berkata demikian di antara istigfar saya di mulut.
Doa saya terkabul. Saya sadari itu meskipun mata saya terpejam menahan sakit di dada.
Pasalnya, Jalan Margonda Raya yang biasanya macet pada hari libur, siang itu nyaris lengang.
Hari itu, Kamis, 29 Mei 2014, adalah hari libur Kenaikan Isa Almasih.
Tak sampai 10 menit, saking ngebutnya, taksi sudah berbelok ke Rumah Sakit Mitra Keluarga, tak jauh dari Terminal Depok.
Tiba di UGD, semangat saya kembali muncul. Saya keluar dari taksi sendiri tanpa dibantu sopir taksi. Saya berjalan pelan-pelan, dan tetap diapit kedua anak saya serta istri saya yang menahan bahu saya dari belakang.
"Dada sesak, keringat dingin," ujar istri saya ke petugas UGD yang datang membuka pintu sembari menyorongkan tempat tidur.
Saya ingat betul, saat itu saya langsung diminta duduk di tepi tempat tidur dan diminta diam sebentar.
"Angkat lidahnya, Pak, telan ini dan habiskan," ujar seorang petugas sembari memasukkan obat berbentuk bubuk ke balik lidah saya.
Sekonyong-konyong, selesai melumat obat tersebut, nyeri di dada saya perlahan menghilang.
Petugas pun meminta saya berbaring, dan kemudian memasangkan selang oksigen ke hidung saya.
Tangan kiri saya pun lantas diberi cairan infus.
Memang, meskipun rasa sesak di dada belum hilang, nyerinya sedikit berkurang. Untuk itulah, saya diminta lagi untuk menghabiskan obat yang juga sudah disiapkan oleh seorang suster.
Ada tujuh butir obat disorongkan suster itu kepada saya. Sambil membawa segelas air, dia meminta saya selekasnya minum obat tersebut.
"Habiskan, Pak," ujarnya. Hanya lima menit seusai menenggak habis ketujuh obat itu, nyeri di dada saya hilang seketika.
Tak ada lagi sesak, apalagi nyeri. Suhu tubuh saya pun mulai berubah menjadi hangat.
Seorang dokter muda, dokter jaga di UGD, tampak menghampiri saya. Ia bilang, tujuh obat itu adalah obat jantung.
"Bapak kena serangan jantung ringan. Terlambat lima menit saja, mungkin Bapak sudah enggak ada lagi. Baiklah, Bapak kami rawat di sini ya," ujar dokter muda tersebut.
Saya cuma mengangguk lemah. Dari balik pintu UGD, saya lihat Azka dan Azzam, melambai-lambaikan tangan ke arah saya sembari tersenyum.
Kedua "pahlawan" saya itu tidak diizinkan masuk ke dalam ruangan, termasuk istri saya yang repot ke sana kemari mengurus perawatan selanjutnya.
Artikel telah ditayangkan di gridhealth dengan judul, Pundak Sebelah Kiri Sakit, Bisa Pertanda Serangan Jantung Tahap Awal