Namun berbeda ketika di Kota Solo, bubur ini tidak akan semudah itu ditemukan karena ada sejarah dibalik kehadirannya di kota ini.
Dahulu sekitar tahun 1907 banyak saudagar dan perajin batu mulia serta pendatang dari Martapura yang merantau ke Kota Solo.
Mereka kemudian mendirikan langgar atau musala di Jayengan dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
Di situlah perantau Martapura ini kemudian terus berkembang.
Hingga akhirnya pada tahun 1930-an, langgar atau musala yang sekian lama telah berdiri dan digunakan untuk berbagai aktivitas keagamaan kemudian dibangun kembali menjadi sebuah masjid dengan dinding tembok.
Masjid ini kemudian dikenal dengan nama Masjid Darussalam seperti saat ini.
Sejak dulu, selain digunakan sebagai tempat ibadah dan menjalankan aktivitas keagamaan, masjid ini juga digunakan sebagai tempat pertemuan para saudagar di Kota Solo.
Ketika mereka berkumpul dan bersilaturahmi, terutama saat Bulan Ramadan, bubur samin ini selalu dihidangkan sebagai takjil untuk kudapan berbuka puasa.
Berawal dari sebuah kebiasaan, takjil bubur samin ini kemudian berubah menjadi tradisi yang terus dilestarikan sejak sekitar tahun 1960-an hingga sekarang.
Dari tradisi yang dibawa oleh perantau akhirnya tradisi ini juga menjadi bagian dari daya tarik dan kuliner khas Ramadan di Kota Solo khususnya saat bulan puasa.
Dalam rangka menghindari kerumunan dalam pembagian takjil bubur samin, untuk tahun ini pembagian akan dibagi menjadi 2 tahapan sehingga jumlah porsinya pun dibuat lebih banyak daripada Bulan Ramadan biasanya yaitu sebanyak 1.300 porsi.