Bisa jadi Bourdain memilih Jakarta sebagai tempat yang dikunjunginya karena dia membaca tentang bagaimana pelayan restoran Padang sanggup membawa belasan piring di kedua tangannya.
Bukan hanya tentang keunikan suatu tempat. Yang membuat "No Reservations" menarik adalah siapa yang ditemui Bourdain di tempat tujuan itu dan apa yang dibicarakan mereka.
Bourdain bisa memilih nobody, bukan pesohor atau wanita cantik atau pria tampan sebagai co-host di tempat itu.
Yang dipilih bisa jadi seorang petani di sebuah desa, atau sebuah keluarga lengkap, atau seorang ibu rumah tangga.
BACA JUGA: Pesepakbola Termahal di Dunia Ini Bayar Koki Restoran Hanya Untuk Belajar Bikin Telur Dadar?
Bourdain memang bisa memilih seseorang sesukanya. Konon dia bisa menolak pengunjung di "Le Halles" restoran tempat dia bekerja dulu di New York karena sang pengunjung adalah penggemar Billy Joel (Bourdain memang penggemar musik punk).
Pembicaraan pun "ngalor ngidul", bukan hanya seputar makanan, tapi juga seputar politik hingga cara beternak. Sambil tak ketinggalan narasi khas Bourdain sepanjang acara yang kadang disertai dengan caci maki sesekali.
Memang selalu ada unsur kuliner ketika mereka berbicara. Walaupun demikian, kuliner yang dipertunjukkan tidak melulu menu eksotis dengan rempah-rempah ajaib. Bisa jadi Bourdain dan co-host itu hanya makan sepotong hot dog atau taco yang dijual dari sebuah van.
BACA JUGA: Begini Cara Tepat Mengolah Sayap Ayam, Tak Kalah Dengan Buatan Resto!
Banyak acara dan pembawa acaranya mencoba meniru "No Reservations". Namun mereka hanya mencoba meniru gaya kemacho-machoan yang dipaksakan untuk menjadi seperti Bourdain (kadang pakai lengan pendek supaya tatonya terlihat). Atau mereka terlanjur terperosok menjadi seorang traveller yang malah memaksakan diri membahas kuliner setempat.
Lalu bagaimana cara membuat acara sebagus "No Reservations" yang khas bahkan nyeleneh? Mungkin hanya Bourdain yang sanggup.
Penulis | : | David Togatorop |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR