"Sudah kacau pikiran saat itu. Setelah lihat jenazah dibuka. Saya down. Emosi memuncak," katanya.
Ditambah lagi dengan sulitnya dia mencari nafkah dengan cap yang lekat padanya sebagai anak pelaku pengeboman.
Ia mengatakan sempat bertemu ayahnya di Nusakambangan beberapa kali sebelum dieksekusi dengan perasaan yang "campur aduk" saat itu, antara percaya dan tidak percaya di tengah "emosi jiwa muda.
" Di tengah emosi yang cukup tinggi dan "rasa dendam", kata Hendra, ia sempat "mau meneruskan apa yang dilakukan bapak" dengan belajar membuat senjata dan sempat meminta pamannya, Ali Fauzi, untuk mengajarinya membuat bom.
Namun permintaan itu ditolak.
Dua pamannya yang lain, Ali Gufron alias Mukhlas dan Ali Imron, juga terlibat Bom Bali 1.
Ali Gufron dieksekusi bersamaan dengan Amrozi sementara Ali Imron dijatuhi hukuman seumur hidup karena menyatakan penyesalan.
"Saya sempat gak mau hormat sama bendera, baru tahun 2017, baru saya bisa sadar" setelah momen melihat anaknya tidur, katanya. Ia kemudian mengontak pamannya, Ali Fauzi, dan berjanji untuk berubah.
Hendra juga ikut aktif mengajak anak-anak muda yang disebutnya terpapar radikalisme.
"Teman-teman yang masih (radikal), kita rangkul, kita bareng-bareng… nggak cuma dari napi teroris tapi juga dari preman-preman kita ajak bekerja, yang penting ada aktivitas, lepas dari pemikiran (radikal)," ceritanya.
"Saya berharap ke negara, kasih kesempatan saya untuk memperbaiki diri, dan teman-teman semua supaya ada aktivitas.