Ayahnya Jadi Otak Dibalik Bom Bali 18 Tahun Silam, Putra Amrozi Dihantui Ketakutan saat Sang Buah Hati Tertidur
SajianSedap.com - Tragedi bom Bali 1 dan 2 menyisakan luka yang mendalam bagi masyarakat Indonesia.
Tak hanya luka, ekonomi Indonesia pun sempat memburuk setelah tragedi tersebut.
Semua elemen masyarakat pun terkena dampaknya.
Salah satunya sosok yang satu ini.
Zulia Mahendra, putra sulung Amrozi, pelaku Bom Bali 1 bercerita tentang tekadnya berjihad untuk keluarga dan menjaga anak-anaknya agar tak seperti dirinya yang terbebani dan dikucilkan orang karena kesalahan bapaknya.
Setelah bertahun-tahun merasa seperti "sampah" karena dijauhi masyarakat, sulit mencari kerja, dan merasakan depresi, ada satu momen yang membuatnya menangis.
Sempat ingin ikuti jejak sang ayah
Momen ketika melihat anaknya tidur, anak yang selalu dipeluk ketika pulang, dan pergi dari rumah untuk mencari nafkah.
Momen yang menimbulkan tekad untuk membesarkan anak dan "berjihad untuk keluarga."
Itulah yang dikatakan Zulia Mahendra, putra sulung Amrozi, pelaku Bom Bali 1.
Baca Juga: Kenang Kisah Habibie-Ainun, Melanie Subono: 'Unge, Sekarang Giliran Kamu Cerita Bahwa Cinta Itu Ada'
Mahendra baru menginjak usia 16 tahun saat ayahnya ditangkap, tak lama setelah Bom Bali 1 pada 12 Oktober 2002.
Usia yang dia sebut "masih mencari jati diri", serta merasa "marah dan terkejut serta tak percaya" bahwa ayahnya termasuk salah seorang pelaku utama di balik serangan terparah di Indonesia dengan 202 korban jiwa itu.
Setelah penangkapan dan eksekusi, Mahendra mengatakan dia bahkan sempat ingin mengikuti dan "melanjutkan apa yang dilakukan bapak".
Perubahan besar inilah yang disampaikan Hendra - nama panggilannya - ketika bertemu dengan putra salah seorang korban Bom Bali 1, Garil Arnandha pertengahan Oktober 2019.
"Satu malam, saya emosional, lagi ingat bapak. Saya lihat anak saya yang pertama tidur. Saat menatap anak saya waktu tidur, saya menangis. Saya harus membahagiakan dia," ceritanya kepada Garil.
Artikel berlanjut setelah video berikut ini.
"Jangan sampai anak saya bernasib sama seperti saya. Dari apa yang saya jalani, itu sungguh sangat sangat berat. Orang-orang di seputar saya mengucilkan dan saya gak mau nantinya anak saya bernasib sama seperti saya. Saya berusaha mengembalikan agar bisa diterima lagi."
"Kalau keluar rumah, saya peluk anak. Andaikan saya melakukan hal seperti bapak, anak saya ini peluk siapa?… Itu yang membuat saya sadar. Kuasa Allah," tambahnya lagi.
Di awal pertemuan dengan Garil serta ibunya Endang Isnanik, Hendra menyampaikan permintaan maaf atas tindakan ayahnya yang menurutnya ikut ia "tanggung sebagai beban".
"Ibu dan Garil, saya anak dari pelaku Bom Bali 1, saya minta maaf yang sebesar-besarnya, mewakili keluarga. Saya juga korban, adik korban, cuma bedanya, ayah saya terlibat di kejadian itu," kata Hendra mengawali pertemuannya.
Ia menyebut dirinya juga sebagai "korban" karena tidak mengetahui apa-apa terkait rencana dan tindakan bapaknya dalam tindak terorisme itu.
"Jujur, saya juga sebagai korban, saya gak tau apa-apa. Saya diacuhkan sama orang-orang, gak dianggap sama orang. Pontang panting di jalan. Cari kerja juga gak bisa. Saya juga korban. Mungkin itu jalannya. Saya ambil positifnya," tambahnya lagi dalam pertemuan di Sedayu, Lamongan, Jawa Timur, daerah tempat Hendra bekerja saat itu.
Ia mengaku jarang bertemu dengan ayahnya karena kedua orang tuanya berpisah saat Hendra masih bayi.
Tetapi begitu mengetahui ayahnya ditangkap dan dieksekusi enam tahun kemudian--pada November 2008-- reaksinya "sempat marah kepada negara" karena mengeksekusi ayahnya.
"Sudah kacau pikiran saat itu. Setelah lihat jenazah dibuka. Saya down. Emosi memuncak," katanya.
Ditambah lagi dengan sulitnya dia mencari nafkah dengan cap yang lekat padanya sebagai anak pelaku pengeboman.
Ia mengatakan sempat bertemu ayahnya di Nusakambangan beberapa kali sebelum dieksekusi dengan perasaan yang "campur aduk" saat itu, antara percaya dan tidak percaya di tengah "emosi jiwa muda.
" Di tengah emosi yang cukup tinggi dan "rasa dendam", kata Hendra, ia sempat "mau meneruskan apa yang dilakukan bapak" dengan belajar membuat senjata dan sempat meminta pamannya, Ali Fauzi, untuk mengajarinya membuat bom.
Namun permintaan itu ditolak.
Dua pamannya yang lain, Ali Gufron alias Mukhlas dan Ali Imron, juga terlibat Bom Bali 1.
Ali Gufron dieksekusi bersamaan dengan Amrozi sementara Ali Imron dijatuhi hukuman seumur hidup karena menyatakan penyesalan.
"Saya sempat gak mau hormat sama bendera, baru tahun 2017, baru saya bisa sadar" setelah momen melihat anaknya tidur, katanya. Ia kemudian mengontak pamannya, Ali Fauzi, dan berjanji untuk berubah.
Hendra juga ikut aktif mengajak anak-anak muda yang disebutnya terpapar radikalisme.
"Teman-teman yang masih (radikal), kita rangkul, kita bareng-bareng… nggak cuma dari napi teroris tapi juga dari preman-preman kita ajak bekerja, yang penting ada aktivitas, lepas dari pemikiran (radikal)," ceritanya.
"Saya berharap ke negara, kasih kesempatan saya untuk memperbaiki diri, dan teman-teman semua supaya ada aktivitas.