Dahulu, ritual memasak sayur lodeh dimulai setelah dua pusaka kerajaan — tombak dan bendera suci, yang konon terbuat dari bahan yang diambil dari makam Nabi Muhammad — diarak keliling kota. Tapi sekarang, sayur lodeh sudah seperti makanan biasa.
Di samping kompleksitas linguistik dan numerologinya, ada sebuah kepraktisan, kebiasaan yang membumi, yang membuat slametan terasa bertolak belakang.
Sejarah Kompleks
Sayur lodeh memang mudah dibuat, namun asal-usulnya cukup rumit. Beberapa ahli percaya tradisi memasak sayur lodeh berasal dari masa kejayaan peradaban Jawa Tengah pada abad ke-10.
Kala itu, konon sayur lodeh membantu melewati masa-masa sulit selama letusan dahsyat Gunung Merapi pada 1006. Sejarawan kuliner seperti Fadly Rahman memperkirakan tradisi memasak lodeh juga sudah dilakukan pada abad ke-16, setelah bangsa Spanyol dan Portugis memperkenalkan kacang panjang ke Jawa.
Beberapa sejarawan lain yakin bahwa "tradisi kuno" ini mulai muncul kembali pada abad-19; di pergantian ke abad 20, saat Yogyakarta menjadi jantung Kebangkitan Nasional Indonesia, periode di mana banyak mitos daerah ditemukan dan dirayakan.
Namun legenda sayur lodeh memang diperkuat pada awal abad ke-20. Contoh paling terkenal adalah pada 1931, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII, ketika Jawa telah dilingkungi wabah pes selama lebih dari dua dekade.
Namun catatan sejarah juga menunjukkan bahwa sayur lodeh telah dimasak untuk menanggapi krisis pada 1876, 1892, 1946, 1948, dan 1951. Yang semakin pelik, lambat laun sayur lodeh menjadi kian populer di seluruh Nusantara. Maka semakin sulit pula menemukan alasan mengapa dan bagaimana hidangan ini berevolusi.
Tapi sejarawan Khir Johari mengatakan, pertanyaan-pertanyaan itu tidak relevan.
"Saat kita melihat sejarah sebuah makanan, kita tergoda untuk mencoba mengkait-kaitkan peristiwa sampai Anda menemukan kisah yang monosentris," ujarnya.
"Padahal bisa jadi makanan itu berasal dari lebih dari satu tempat." "Komunitas Peranakan Tionghoa di Singapura menyajikan sayur lodeh sebagai semur sayur berkuah kuning yang dimakan dengan lontong," ujarnya.
"Sementara orang-orang Jawa di Singapura memasak lodeh tanpa kunyit."
Bagi Johari, transformasi sayur lodeh menyebar melalui tambal-sulam budaya Nusantara dan saling berkelindan dengan makanan, kebudayaan sosial, dan lingkungan.