SajianSedap.com - Bagi masyarakat Jawa tentu sudah familiar dengan masakan sayur lodeh.
Sayur yang terdiri dari berbagai jenis sayur seperti kacang panjang, nangka muda, labu siam, daun melinjo, dan lainnya ini memang menjadi masakan khas Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
Jika dulu masakan ini identik sebagai masakan 'wong ndeso', kini seiring berjalannya keberadaanya sudah diterima di berbagai kalangan.
Bahkan baru ini sayur lodeh ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia, seperti dikutip dari akun Instagram @kemenparekraf.ri, sebagaimana diberitakan tribunnews.
Warisan budaya tak benda merupakan peningalan budaya yang berkembang secara turun temurun di masyarakat, memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni.
Sayur lodeh menjadi salah satu kuliner tradisional Jogja yang ditetapkan oleh Kemendikbudristek sebagai warisan budaya tak benda Indonesia tahun ini.
Penyerahan sertifikat dilakukan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam Perayaan Warisan Budaya Takbenda Tahun 2023 di Gedhong Pracimasana Kepatihan, Selasa (23/5/2023).
Warisan budaya tak benda memberikan rasa identitas yang berkelanjutan untuk menghargai perbedaan budaya dan kreativitas manusia. Menjaga eksistensi warisan ini dari generasi ke generasi adalah tanggung jawab kita bersama.
Lalu bagaimana sejarah dari masakan ini?
Sejarah Sayur Lodeh
Alkisah, saat wabah menyerang Yogyakarta pada 1931, sultan memerintahkan warganya untuk memasak sayur lodeh dan berdiam diri di rumah selama 49 hari. Lalu wabah berakhir.
Tidak ada yang istimewa dari sayur lodeh, segala tentangnya sederhana malah. Sayur berkuah ini terbuat dari tujuh bahan utama dan siraman santan yang sedikit pedas.
Baca Juga: 5 Kuliner Khas Surabaya Terkenal yang Wajib Dicoba, Mulai Rawon Hingga Tahu Tek!
Ahli gizi yang mempelajari hidangan ini mengatakan ada manfaat kesehatan dari bahan-bahan tambahannya, seperti lengkuas, yang dianggap mengandung kualitas anti-inflamasi.
Hidangan yang terbuat dari bahan-bahan musiman yang mudah didapat ini juga sangat cocok untuk masa karantina, kata mereka.
Namun yang terpenting dari titah sultan untuk memasak sayur lodeh saat itu adalah pesannya tentang solidaritas sosial. Seluruh kota, memasak makanan yang sama di saat bersamaan, menciptakan rasa kebersamaan yang kuat.
"Seperti banyak hal dalam kepercayaan Jawa, tujuannya adalah untuk menolak bala," ujar Revianto Budi Santoso, seorang arsitek, dosen, dan sejarawan Jawa.
"Menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan lebih utama ketimbang mencapai sesuatu sendirian. Orang Jawa berpikir, jika tidak ada rintangan, hidup akan menjaga dirinya sendiri."
Secara keseluruhan, hidangan Jawa kaya akan simbolisme. Nasi tumpeng, misalnya, yang terdiri dari campuran daging dan sayuran dengan mahkota nasi kuning berbentuk kerucut, mencerminkan tatanan dunia di bawah Sang Kuasa.
Nasi kuning sendiri dianggap membawa berkah bagi rumah dan bisnis baru. Sementara jamu, dalam manuskrip kuno ditulis sebagai 'jampi' atau 'usodho' adalah ramuan untuk kesehatan. Sayur lodeh, secara linguistik dan numerologis, memperkuat simbolisme ini.
Tujuh bahan utama yang ditambahkan ke kuah santan — melinjo, daun melinjo, labu siam, kacang panjang, terong, nangka, dan tempe — memiliki makna simbolis yang diturunkan dari suku katanya.
Dalam bahasa Jawa, kata wungu dari terong wungu berarti berwarna ungu, tapi juga bisa berarti 'terbangun'; sementara lanjar dari kacang lanjar (atau kacang panjang) bisa dimaknai sebagai 'berkah'.
Bagi orang luar, salah satu hal menarik dari kisah keajaiban sayur lodeh adalah betapa tidak ajaibnya sayur itu sendiri.
Bahan-bahannya dengan mudah dimiliki setiap rumah di desa. Cara mempersiapkan hidangan ini pun mudah: masukkan semua bahan ke panci, lalu jerang di atas api.
Dahulu, ritual memasak sayur lodeh dimulai setelah dua pusaka kerajaan — tombak dan bendera suci, yang konon terbuat dari bahan yang diambil dari makam Nabi Muhammad — diarak keliling kota. Tapi sekarang, sayur lodeh sudah seperti makanan biasa.
Di samping kompleksitas linguistik dan numerologinya, ada sebuah kepraktisan, kebiasaan yang membumi, yang membuat slametan terasa bertolak belakang.
Sejarah Kompleks
Sayur lodeh memang mudah dibuat, namun asal-usulnya cukup rumit. Beberapa ahli percaya tradisi memasak sayur lodeh berasal dari masa kejayaan peradaban Jawa Tengah pada abad ke-10.
Kala itu, konon sayur lodeh membantu melewati masa-masa sulit selama letusan dahsyat Gunung Merapi pada 1006. Sejarawan kuliner seperti Fadly Rahman memperkirakan tradisi memasak lodeh juga sudah dilakukan pada abad ke-16, setelah bangsa Spanyol dan Portugis memperkenalkan kacang panjang ke Jawa.
Beberapa sejarawan lain yakin bahwa "tradisi kuno" ini mulai muncul kembali pada abad-19; di pergantian ke abad 20, saat Yogyakarta menjadi jantung Kebangkitan Nasional Indonesia, periode di mana banyak mitos daerah ditemukan dan dirayakan.
Namun legenda sayur lodeh memang diperkuat pada awal abad ke-20. Contoh paling terkenal adalah pada 1931, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII, ketika Jawa telah dilingkungi wabah pes selama lebih dari dua dekade.
Namun catatan sejarah juga menunjukkan bahwa sayur lodeh telah dimasak untuk menanggapi krisis pada 1876, 1892, 1946, 1948, dan 1951. Yang semakin pelik, lambat laun sayur lodeh menjadi kian populer di seluruh Nusantara. Maka semakin sulit pula menemukan alasan mengapa dan bagaimana hidangan ini berevolusi.
Tapi sejarawan Khir Johari mengatakan, pertanyaan-pertanyaan itu tidak relevan.
"Saat kita melihat sejarah sebuah makanan, kita tergoda untuk mencoba mengkait-kaitkan peristiwa sampai Anda menemukan kisah yang monosentris," ujarnya.
"Padahal bisa jadi makanan itu berasal dari lebih dari satu tempat." "Komunitas Peranakan Tionghoa di Singapura menyajikan sayur lodeh sebagai semur sayur berkuah kuning yang dimakan dengan lontong," ujarnya.
"Sementara orang-orang Jawa di Singapura memasak lodeh tanpa kunyit."
Bagi Johari, transformasi sayur lodeh menyebar melalui tambal-sulam budaya Nusantara dan saling berkelindan dengan makanan, kebudayaan sosial, dan lingkungan.
Lahan pertanian subur di sekeliling Yogyakarta memang memasok sayuran yang memungkinkan penduduknya bertahan menghadapi wabah dan erupsi gunung berapi, tapi kota ini juga dikelilingi pelabuhan-pelabuhan maritim utama.
Mengkarantina penduduk berarti juga menerapkan isolasi pada para pendatang baru. Bisa jadi, para pelaut Jawa yang kemudian membuat lodeh populer hingga ke luar Yogyakarta.
Makanan sejenis sup, kuah, dan kari — layaknya sayur lodeh — sangat praktis dimasak saat terjebak di kapal. Maka, hidangan ini pun terus berkembang.
Di kota-kota hiper-urban di Asia Tenggara saat ini, sayur lodeh diperkenalkan kembali sebagai makanan kesehatan.
Lodeh juga menjadi hidangan warisan yang menarik bagi kelas menengah yang berkembang pesat. Untuk generasi Instagram, sayur lodeh yang kaya warna cocok untuk menarik perhatian di linimasa.
"Saat pertama kali membuka toko saya, orang-orang biasanya datang untuk keperluan sosial media: 'Lihat, saya bersentuhan dengan budaya saya', semacam itu," kata Nova Dewi Setianbudi, pemilik kedai Suwe Ora Jamu di M Bloc, distrik kuliner kekinian di Jakarta.
"Namun sekarang orang Indonesia mulai menyadari manfaat kesehatan dari makanan tradisional kita; kita tidak selalu menyadari manfaat obat dari bahan-bahan seperti daun salam, serai, dan lengkuas."
Di luar Yogyakarta, sayur lodeh mungkin telah kehilangan makna aslinya, namun hidangan ini masih dikenali sebagai makanan yang bersahaja.
"Lodeh adalah makanan yang sederhana," kata Nova, "Tapi ada filosofi hebat, kebijaksanaan, di baliknya. Kuncinya terletak pada bahan-bahan yang segar."
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Sejarah Sayur Lodeh, Hidangan Penghalau Wabah di Pulau Jawa