Pada prasasti tersebut terdapat beberapa kosakata yang menyebutkan bahan makanan dari sayuran bernama rumwah-rumwah (lalap mentah), kuluban (lalap yang direbus), dudutan (lalap mentah yang diambil dari akarnya) dan tetis (sejenis sambal).
Penemuan tulisan bahan makanan pada Prasasti Panggumulan tersebut membuktikan bahwa lalap telah dikomsumsi pada abad ke-10 M.
Artinya, bukti tertua dari jejak lalap dapat dilihat pada Prasasti Panggumulan.
Bahan makanan yang tercantum pada prasasti tersebut diperoleh dari tumbuhan dan tanaman yang tumbuh liar secara lokal pada perkarangan rumah, misalnya.
Hingga pada akhirnya, berabad-abad kemudian, mulai masuk beragam tanaman dari penjuru dunia yang kemudian dibudidayakan dan menjadi bagian dari lalab, seperti timun, terong, wortel, kol, dan singkong.
Meski sudah terdapat bukti arkeologisnya, bukti tertulis budaya makan lalap masih terbilang buram.
Hingga akhirnya penelitian lebih lanjut pada naskah sunda, yaitu "Sanghyang Siksa Kandang Karesian" yang berasal dari abad ke-16 Masehi dapat memberikan cukup informasi mengenai lalap dan menjadi pembenaran atas bukti pada Prasasti Panggumulan.
Dalam naskah tersebut terdapat beberapa kalimat yang menunjukan bukti atas lalab, yaitu dengan kalimat "kalingana asak deung atah" (sebenarnya hanya mentah dan masak).
Bukti pada Prasasti Panggumulan dan naskah sunda Sanghyang Siksa Kandang Karesian cukup memberitahukan bahwa sejak abad ke-10 terdapat kegemaran masyarakat menyantap lalap.
Selain itu di masa lalu sebelum kemerdekaan, banyak orang Eropa kemudian datang dan mendiami berbagai wilayah di Indonesia.