Hal ini bertujuan agar bobot sapi meningkat.
Terdapat dua waktu penggolonggan yang dilakukan oleh oknum, yakni sebelum sapi diperjualbelikan atau sebelum dilakukan penyembelihan.
“Hal ini tentu saja menyebabkan daging sapi memiliki kadar air yang tinggi. Kadar air pada daging sapi normal berkisar 60 persen akan meningkat menjadi sekitar 80%. Kandungan air yang tinggi menyebabkan pigmen oksimioglobin yang menghasilkan warna merah segar menjadi terhidrolisis, sehingga daging menjadi pucat atau kusam,” jelas Susi.
Berbeda dengan daging sapi segar yang kesat padat, tekstur daging gelonggongan lembek, tidak kesat atau padat, dan berair.
Kerusakan tekstur daging gelonggongan ini membuatnya sulit diolah menjadi aneka makanan, misalnya bakso, nuget, abon, atau bentuk olahan daging lainnya.
Selain itu, bila dipotong, daging gelonggong tidak menghasilkan bentuk potongan yang padat.
Kandungan air yang tinggi pada sel-sel daging menyebabkan daging sapi gelonggongan menjadi sarang bakteri Salmonella typhosa, Clostridium, dan bakteri lainnya yang berbahaya bagi manusia.
Oleh karena itu, daging tidak bisa bertahan dalam suhu ruang apabila lebih dari enam jam.
Bila lebih dari itu, aroma daging menjadi tidak sedap (masam), warna menghitam, dan membusuk oleh kehadiran bakteri.
Di sisi lain, daging sapi normal masih bisa bertahan selama waktu tersebut.
“Selain itu, apabila direbus atau dipanaskan, air berlebihan yang tersimpan dalam daging akan keluar dari selnya, sehingga daging mengalami penyusutan. Bahkan ada penelitian yang menyatakan bahwa pada daging gelonggong terjadi denaturasi protein,” jelasnya.
Baca Juga: Momen Bersantap Saat Lebaran Bisa Kurang Lengkap Tanpa Resep Sambal Kentang Daging Ini