SajianSedap.com - Hari Raya Idul Fitri adalah perayaan penting bagi umat Islam di seluruh dunia yang menandai berakhirnya bulan puasa Ramadan.
Meskipun perayaan ini memiliki kesamaan dalam esensi religiusnya, berbagai daerah memiliki tradisi tersendiri.
Di Indonesia, tradisi yang sangat populer adalah "Mudik" atau pulang kampung, di mana orang-orang kembali ke kampung halaman mereka untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga besar.
Selain itu, ada pula tradisi berbagi makanan atau bingkisan pada sanak saudara dan kerabat.
Makanan ini dapat berupa hidangan berat seperti ketupat dan opor khas lebaran hingga kue kering khas lebaran.
Nah, tradisi mengirimkan bingkisan atau sering juga disebut hampers dan parcel sekarang ini, ternyata bisa dirunut jauh hingga masa Jawa Kuno melalui istilah ‘ater-ater’.
“Dalam Jawa Kuno ada istilah ‘ater-ater’. Paling tidak, istilah ‘ater’ telah dikenal abad ke-IX, terbukti oleh penyebutannya dalam kakawin Ramayana, Sutasoma,” kata Travelling Chef Wira Hardiansyah pada Kompas.com, Kamis (7/5/2021).
Istilah ‘ater-ater’ ini seringkali dikombinasikan dengan kata ‘panganan (pasugatan,bojana)’ sehingga menjadi ‘ater-ater panganan’.
Istilah tersebut merujuk pada aktivitas mengantarkan atau membawa makanan dari seseorang atau suatu keluarga ke orang atau keluarga lainnnya pada waktu tertentu, dengan maksud tertentu.
Menurut Wira, ‘ater-ater panganan’ ini telah lama dilakukan di lingkungan masyarakat Jawa lintas generasi dan akhirnya menjadi sebuah tradisi.
Istilah ‘ater-ater’ ini seringkali dikombinasikan dengan kata ‘panganan (pasugatan,bojana)’ sehingga menjadi ‘ater-ater panganan’.
Istilah tersebut merujuk pada aktivitas mengantarkan atau membawa makanan dari seseorang atau suatu keluarga ke orang atau keluarga lainnnya pada waktu tertentu, dengan maksud tertentu.
Menurut Wira, ‘ater-ater panganan’ ini telah lama dilakukan di lingkungan masyarakat Jawa lintas generasi dan akhirnya menjadi sebuah tradisi.
Baca Juga: Asal-usul Bubur India, Sajian Khas Buka Puasa di Masjid Pekojan Semarang Selama Ratusan tahun
Tradisi ‘ater-ater panganan’ ini kemudian terus dipraktikkan masyarakat Nusantara termasuk ketika Islam masuk.
Masyarakat pemeluk agama Islam mengadopsi tradisi ini dengan mengaitkannya pada imbauan Nabi Muhammad melalui beberapa hadits.
Dalam salah satu hadits yang dijelaskan Wira, Nabi Muhammad SWT berpesan kepada sang istri, Aisyah, bahwa “yang habis adalah apa yang kita makan ini dan yang kekal adalah apa yang kita sedekahkan.” (HR. At-Tirmidzi)
“Dari sepenggal kisah ini, Rasulullah mengajarkan untuk memperbanyak sedekah, bahkan lewat makanan sekali pun,” jelas Wira.
"Tidak dibenarkan menimbun makanan dalam jumlah banyak, apalagi melahapnya secara berlebihan. Dalam Islam bahkan diajarkan untuk berhenti makan sebelum kenyang,” pungkasnya.
Pada awalnya, masyarakat Nusantara biasanya mengirimkan makanan-makanan yang sudah masak dan siap makan pada sanak saudara serta kerabat.
Namun, perlahan-lahan mereka mulai bergeser dengan mengirimkan makanan kemasan.
Seperti yang sering ditemukan sekarang ini, parsel dan hampers yang terdiri dari kemasan kue kering, biskuit, camilan, dan lain-lain.
Menurut Wira, hal ini diperkirakan terjadi karena masyarakat ingin mengirimkan bingkisan dengan cara yang lebih praktis.
Tradisi berbagi makanan lainnya bisa ditemukan di Jawa Barat. Di sana ada tradisi bernama Munjung yang berasal dari kata ‘kunjung’.
Biasanya, Munjung dilakukan mendekati Lebaran di mana adik atau anak mengunjungi kakak atau orang tua. Mereka membawa rantang sebagai wadah nasi dan lauk untuk ‘dipunjung’.
Baca Juga: Uniknya Sambal Khas Indonesia, Ada yang Pakai Udang hingga Kecombrang
Selain Munjung, ada pula tradisi bernama Nganteuran atau tukar rantang. Tradisi ini biasa dilakukan turun temurun.
“Di dalam rantang, ada nasi, bakakak (ayam panggang) udud (rokok), gula, kopi, dan ragam buah-buahan. Hantaran tersebut juga biasanya dibalas oleh lauk-pauk juga dengan selipan amplop berisi uang,” jelas Wira.
Kemudian di Bali ada tradisi Ngejot, yakni memberi makanan dan minuman kepada tetangga yang sudah membudaya bagi umat Islam di Bali menjelang hari raya Idul Fitri.
Tradisi Ngejot ini telah dilakukan sejak zaman dahulu bagi umat Islam oleh para leluhurnya.
Ngejot dilakukan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada sesama saudara dalam memupuk kebersamaan yang dikenal dengan nama ‘menyambraya’.
“(Tradisi Ngejot) jadi simbol kerukunan antarumat beragama sehingga tetap mesra dan harmonis, serta pembelajaran kepada anak-anak di usia dini untuk selalu meningkatkan pemahaman tentang kerukunan umat beragama sebagai bentuk penerapan dari Bhinneka Tunggal Ika,” tutur Wira.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Sejarah Tradisi Berbagi Bingkisan Jelang Lebaran di Indonesia
Source | : | Kompas |
Penulis | : | Amelia Pertamasari |
Editor | : | Raka |
KOMENTAR