Terlebih untuk lidah peranakan saat dibawa ke Indonesia, yang telah bercampur selera lokal.
"Di Chinanya pun mereka buat hal yang sama sebelum dibawa. Mereka punya mi yang seperti spaghetti, lalu tauto yang asam, tahu untuk daging, dan kalau tauge itu memang wajib ya pada masa itu.
Terlihat dari penjelajahan Cheng Ho," tuturnya.
Pada saat penjelajahannya, Cheng Ho membawa banyak tauge segar dan menanamnya di kapal untuk nutrisi dan pengobatan para prajuritnya.
Menurutnya hal tersebut tercatat sebagai salah satu penyebab sedikitnya prajurit yang gugur karena sakit, dibanding para pelayar Eropa.
Percampuran kuliner tersebut disinyalir memang tak jauh dari masa penjelajahan Laksamana Cheng Ho, setelah abad ke 15.
"Jadilah hidangan itu berupa mi, tahu, toge, dan tauto. Dengan tomat masam khas negeri China, bukan tomat buah yang banyak di Indonesia. Lalu final topping-nya pake gula aren aslinya," ujar laki-laki peranakan Tionghoa yang lazim disapa baba ini.
Seiring berjalannya waktu, menurut Mardi Liem, penyebaran toge goreng tersebut berjalan dari pantai tepian Sunda bagian barat.
Seperti Pandeglang, Banten yang dahulunya termasuk Sunda.
Sejak dari daratan China, hidangan tersebut disebut tauge mi, bukan toge goreng.
"Jadi memang asisten tukang toge mi ini orang Sunda. Sayangnya anak dari para penjual dulu itu rata-rata malu untuk lanjutin jualan toge kepada pribumi, jadilah yang nerusin para asistennya," papar Mardi Liem, di resto Kentjana miliknya.