SajianSedap.com - Anda tentu sudah tahu dengan papeda bukan, bahkan meski sama sekali belum pernah mencobanya?
Papeda adalah makanan khas Papua, Maluku, dan beberapa daerah di Sulawesi.
Papeda memiliki tekstur lengket dan menyerupai lem, serta rasanya tawar.
Dan akan menjadi lebih nikmat dengan disajikan bersama ikan tongkol atau bubara yang dibumbui dengan kunyit.
Namun hidangan ini tidak hanya menjadi kelezatan yang memanjakan lidah, tetapi juga merangkum kekayaan tradisi.
Makanan ini telah menjadi bagian penting dari warisan budaya, disajikan pada acara penting, dan telah diwariskan secara turun-temurun.
Seperti apa filosofi dari hidangan khas Papua ini?
Lihat berikut ini selengkapnya.
Berikut ini fakta-fakta menarik papeda yang mesti Anda ketahui:
Baca Juga: 4 Warung Soto Legendaris di Solo yang Rasanya Bak Masakan Simbah
Sebagai makanan khas Papua, papeda ternyata memiliki filosofi yang mendalam.
Saat menyantap papeda, satu keluarga biasanya menyantap dengan dilengkapi helai dan hote.
Helai merupakan alat makan tradisional yang terbuat dari kayu sebagai tempat penyajian papeda. Sementara hote merupakan piring kayu sebagai tempat untuk menyantap papeda.
Tradisi makan papeda dari satu piring yang sama dalam satu keluarga oleh masyarakat Sentani disebut sebagai helai mbai hote mbai, mbai berarti satu.
Sebutan inilah diartikan sebagai satu filosofi yaitu makan dalam satu keluarga dapat menjadi cerita yang bisa disimpan untuk masa depan anak dan cucu.
Bagi mereka, acara makan keluarga menandai sebagai ikatan kekeluargaan sebagai ruang diskusi antara orang tua dan anak.
Pada 16 Oktober 2015, Papeda ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Anies Baswedan, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Google merayakan Papeda sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada 20 Oktober 2023 melalui Google Doodle.
Keputusan ini merupakan bagian dari upaya pelestarian warisan budaya tak benda Indonesia, yang juga meliputi elemen-elemen lain seperti Gamelan, Pantun, dan Tradisi Pencak Silat.
Pembuatan papeda apabila menggunakan tepung sagu dapat dibuat dengan cara tepung sagu direndam terlebih dahulu dalam air bersih selama kurang lebih 15 menit sebelum dimasak.
Setelah itu, ambil pati yang mengendap kemudian campur dengan air untuk nantinya akan dibuat papeda.
Baca Juga: Fakta Soto Tangkar Khas Betawi, Olahan Jeroan yang Lahir saat Penjajahan Belanda
Cara lain dalam membuat papeda yaitu dengan air panas atau air dingin, sagu, air, jeruk, dan garam.
Hal pertama yang dilakukan yaitu dengan merebus air hingga mendidih. Sembari menunggu, bisa menyiapkan sagu di baskom dan diberi perasan jeruk, garam, serta air dingin secukupnya. Setelah itu, sagu diaduk kemudian disaring.
Apabila airnya sudah mendidih, air tersebut disiram ke sagu sambil diaduk hingga masak dan menjadi papeda.
Untuk menyantap papeda, caranya kamu menggulung-gulung papeda tersebut di sumpit atau garpu.
Sumpit atau garpu digenggam menggunakan dua tangan dengan masing-masing tangan memegang satu sumpit.
Hal ini karena papeda memiliki tekstur yang kental seperti lem sehingga untuk memindahkannya ke piring tidak bisa menggunakan sendok.
Setelah dipindahkan ke piring, saat memakannya papeda tidak perlu dikunyah dan bisa langsung ditelan.
Dalam piring tersebut, papeda disantap bersama kuah kuning sehingga menambah kenikmatan papeda itu sendiri.
Papeda terbuat dari sagu yang mengandung karbohidrat, protein, kalsium, fosfor, zat besi, dan serat. Selain itu, papeda juga rendah kolesterol dan memiliki nutrisi esensial yang baik untuk kesehatan tubuh.
Rutin mengkonsumsi papeda dapat meningkatkan kekebalan dan daya tahan tubuh, serta membantu menjaga kesehatan pencernaan, tulang, dan otak.
Papeda juga dipercaya memiliki manfaat kesehatan lainnya, seperti mengurangi risiko kanker usus dan membantu menurunkan berat badan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul 4 Fakta Papeda Khas Papua, Makanan Khas Tempat Pelaksanaan PON XX
Baca Juga: Jarang Ada yang Tahu, 5 Makanan Khas Kulon Progo Yogyakarta Ini Pantang Kalau Enggak Dicoba
Source | : | Kompas |
Penulis | : | Amelia Pertamasari |
Editor | : | Raka |
KOMENTAR