Mengintip Jejak Masa Lalu dalam Segelas Minuman Soda Badak, Si #KemilauKulinerIndonesia Kebanggan Orang Medan!

By Virny Apriliyanty, Rabu, 8 April 2020 | 15:30 WIB
Mengintip Jejak Masa Lalu Lewat Segelas Minuman Soda Badak, Si #KemilauKulinerIndonesia Kebanggan Orang Medan! (Tokopedia.com)

Mengintip Jejak Masa Lalu dalam Segelas Minuman Soda Badak, Si #KemilauKulinerIndonesia Kebanggan Orang Medan!

SajianSedap.com - Pernahkah Anda mendengar Minuman Bersoda Cap Badak?

Minuman ini mungkin seterkenal merek minuman soda seperti Coca Cola, Fanta sampai Sprite. 

Namun bagi masyarakat Medan dan Pematang Siantar, Badak jadi #KemilauKulinerIndonesia asli daerah mereka. 

Ya, jauh sebelum minuman bersoda merek asing masuk ke Indonesia, warga Pematangsiantar justru sudah lebih dulu mengakrabi minuman bersoda merek Cap Badak, yang asli buatan Pematangsiantar.

Baca Juga: Resep #KemilauKulinerIndonesia: Resep Soto Betawi, Sajian Berkuah Gurih Terkenal Dari Jakarta

Baca Juga: Resep #KemilauKulinerIndonesia: Resep Ketoprak Salah Satu Kudapan Tradisional Dari Jakarta

Minuman ini mudah kita temukan di hampir seluruh restoran di seantero kota Medan. 

Bahkan di Jakarta, minuman Badan juga mudah kita temukan kalau kebetulan makan di restoran Batak Toba dan Medan. 

Lalu bagaimana ya legenda minuman rasa sarsaparila ini?

Badak, Minuman Kebangaan Orang Medan

Di jalan Pematang Raya No. 3, Pematangsiantar, Sumatera Utara, lah kita bisa melihat jejak-jejak sejarah Minuman Bersoda Cap Badak yang tak hilang sampai saat ini. 

Ada 2 jenis minuman berkarbonasi merek Cap Badak yang sampai kini masih lestari, yakni rasa sarsaparila dan kola.

Manager Pemasaran Cap Badak, Panggabean, mengatakan, minuman ini awalnya diproduksi warga Swiss, Heinrich Surbeck, seorang sarjana teknik kimia dan koletor hewan kering serta tumbuhan.

Baca Juga: Resep #KemilauKulinerIndonesia: Resep Nasi Uduk, Kuliner Khas Betawi yang Dimasak Dengan Cara Unik

Baca Juga: Resep #KemilauKulinerIndonesia: Resep Soto Betawi Merupakan Kuliner Legendaris Dari Jakarta

Ia mendirikan pabrik NV Ijs Fabriek Siantar pada 1916.

Seiring waktu dan berpindahnya kepemilikan, nama pabrik berubah jadi PT Pabrik Es Siantar.

Semula, pabrik ini memproduksi minuman bersoda dan es batu.

Minuman Bersoda Cap Badak

Alasannya, kondisi air yang bersih di Pematangsiantar di masa itu cocok dibuat menjadi es batu.

Di masa silam, Surbeck sempat mengembangkan varian rasa selain kola dan sarsaparila, yakni rasa anggur dan jeruk.

Namun kata Panggabean, yang paling disukai varian rasa sarsaparila yang memang unik di lidah.

Baca Juga: Resep #KemilauKulinerIndonesia: Resep Nasi Uduk Spesial, Hidangan Khas Betawi yang Kaya Akan Aroma

Baca Juga: Resep #KemilauKulinerIndonesia: Resep Ketoprak, Kudapan Nikmat Khas Betawi yang Wajib Dicoba

Sarsaparila terbuat dari ekstrak tanaman herbal asal Meksiko.

Minuman sarsaparilla dikemas di dalam botol kaca transparan lalu diberi merek Cap Badak, lengkap dengan gambar badak bercula, hewan kebanggaan Surbeck, di bagian tengah botolnya.

Minuman Bersoda Cap Badak

Selain populer di kotanya dan Sumatera Utara, minuman Cap Badak juga telah menyebar ke banyak kota di Indonesia, dari Aceh, Riau, dan berbagai kota lain di Sumatera.

Kendati kini banyak pesaing minuman bersoda dari luar neger, kata Panggabean, "Kami masih memiliki pasar tersendiri sampai hari ini.”

Per botol Cap Badak harganya Rp 8 ribu.

Baca Juga: Resep #KemilauKulinerIndonesia: Resep Soto Betawi, Kuliner Legendaris Dari Jakarta

Sejarah Nama Badak Tak Diketahui

Dikutip dari Kompas.com, Elman Tanjung (89) yang berkarier dari mulai pegawai rendahan pada 1938 hingga menjadi Direktur NV Ijs Fabriek Siantar mengatakan juga tak tahu asal muasal nama Badak.

"Soal nama Badak saya tidak tahu persis. Setahu saya, Surbeck adalah sarjana teknik kimia yang juga pencinta alam. Ia memiliki banyak koleksi tumbuhan dan hewan kering. Saya menduga nama Badak diambil karena kecintaannya kepada alam," kata Tanjung (89). 

Artikel berlanjut setelah video di bawah ini. 

Tanjung mengatakan, pabrik minuman ini berkembang pesat.

 

Orang Medan kadang menyebut "sarsi" untuk minuman, kependekan dari sarsaparila.

Tanjung berkisah, pada zaman dahulu, selain minuman bersoda, NV Ijs Fabriek Siantar juga memproduksi sari buah markisa yang diekspor ke sejumlah negara, seperti Swiss, Belanda, dan Belgia, dengan merek Marquisa Sap.

Akan tetapi, produksi ini kemudian terhenti. Ketika pendudukan Jepang, pabrik ini masih bertahan.

Penjajah Jepang menempatkan seorang wakilnya saat mengelola perusahaan ini.

Pabrik tetap beroperasi seusai kemerdekaan.

Akan tetapi, situasi kemudian berubah ketika Heinrich Surbeck dibunuh oleh laskar rakyat yang memberontak melawan Belanda seusai Proklamasi Kemerdekaan.

Baca Juga: Resep #KemilauKulinerIndonesia: Resep Kembang Goyang Pisang Wijen, Kuliner Favorit Khas Betawi

Dua anak Surbeck sempat diungsikan ke Eropa sehingga mereka selamat.

Meski tanpa kehadiran keluarga Surbeck, NV Ijs Fabriek Siantar tetap beroperasi.

Tanjung dan kawan-kawannya tetap mengelola usaha itu hingga kemudian salah satu anak Surbeck, yaitu Lydia Rosa, kembali ke Pematang Siantar pada tahun 1947.

Di kota itu Rosa menikah dengan seorang pria Belanda bernama Otto.

Otto kemudian mengelola usaha ini hingga tahun 1959.

Gonjang-ganjing di Tanah Air yang disertai isu nasionalisasi aset pada tahun itu menjadikan Otto menyerahkan pengelolaan NV Ijs Fabriek Siantar kepada Tanjung.

Sampai tahun 1963, Otto dan Rosa masih berada di Indonesia hingga kemudian mereka keluar dari Indonesia menuju Swiss.

Sejak saat itu Tanjung mengelola sepenuhnya usaha ini.

"Saat mengelola usaha ini saya berkenalan dengan Julianus Hutabarat. Ia juga seorang pengusaha. Saya sempat menceritakan kemungkinan pembelian NV Ijs Fabriek Siantar," tutur Tanjung.

Hutabarat yang bersama saudara-saudaranya telah memiliki usaha dengan nama Barat Trading Company ternyata berminat.

Tanjung kemudian menyampaikan hal itu kepada Otto.

Pada tahun 1969 Hutabarat akhirnya membeli perusahaan itu.

Ia membeli dengan cara mencicil hingga pada tahun 1971 perusahaan itu benar-benar menjadi milik Hutabarat sepenuhnya.

Perusahaan ini berubah nama menjadi PT Pabrik Es Siantar.

Baca Juga: Resep #KemilauKulinerIndonesia: Resep Bubur Sumsum Pisang, Kudapan Tradisional Lembut Untuk Buka Puasa

Sampai tahun 1987 Tanjung masih dipercaya mengelola perusahaan ini.

"Dulu produksi Badak hingga 35.000 kerat per bulan. Penjualan tidak hanya di Sumatera Utara, tetapi juga sampai ke Jawa," kata Tanjung yang dibenarkan oleh Hendry Hutabarat dan Ronald Hutabarat, anak Julianus Hutabarat.

Ronald yang melanjutkan mengelola perusahaan itu menceritakan, nama Badak memang telah melekat di hati masyarakat Pematang Siantar dan Medan.

Mereka mendapatkan konsumen fanatik.

Sayang Sayang sekali produksi Badak sekarang agak berkurang.

Produksi diperkirakan hanya tinggal separuh dibandingkan dengan pada saat mereka berjaya.

Jenis rasa pun berkurang, sekarang hanya tinggal sarsaparila dan air soda.

Banyak hal yang menjadikan produksi Badak menurun.

"Isu kesehatan seperti soal bahaya minuman bersoda menjadikan konsumen berkurang," kata Hendry menyebut salah satu penyebab penurunan produksi minuman bersoda.

Baca Juga: Resep #KemilauKulinerIndonesia: Resep Kolak Pisang Pacar Cina, Salah Satu Takjil Andalan Untuk Buka Puasa